Friday, February 24, 2017

Bagian Waris Cucu Yang Orang Tuanya Meninggal Terlebih Dahulu


Note “Apabila ada kesalahan dalam penulisan Arab mohon maaf dan bisa membantu saya memperbaiki dengan memberikan komentar”.




Berdasarkan pendapat mayoritas ulama’ ahli faraidh, terkait dengan usaha untuk membela nasib cucu sebagai ahli waris ketika bersama dengan anak laki laki, yang menurut fiqih kewarisan sunni, cucu dalam keadaan demikian terhijab atau terdinding total oleh anak laki laki, sehingga tidak mendapatkan hak bagian warisan sama sekali.

Pendapat yang umum dalam hukum kewarisan Islam menyatakan bahwa cucu yang dapat menggantikan anak hanyalah cucu melalui anak laki-laki dan tidak cucu melalui anak perempuan. Begitu pula anak saudara yang menggantikan saudara hanyalah anak dari saudara laki-laki, bukan perempuan. Sementara ulama Syi’ah tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam masalah ahli waris pengganti ini. Dengan demikian keturunan dari jalur laki-laki dan jalur perempuan sama-sama berhak atas harta warisan nenek atau kakeknya.

Selain itu, pendapat yang umum dalam hukum Islam menempatkan cucu dalam hak kewarisan adalah sebagai cucu secara langsung dan bukan menempati kedudukan ayahnya secara penuh sebagaimana yang berlaku dalam BW. Dalam kedudukan dan dalam urutan kewarisan anak lebih dahulu dari pada cucu, sehingga cucu selalu tertutup bila masih ada anak yang masih hidup, baik anak itu ayahnya sendiri atau saudara ayahnya, oleh karena itu cucu yang ayahnya mati lebih dahulu tidak berhak menerima warisan kakeknya bila ada pamannya yang masih hidup artinya tidak berlaku secara penuh sebagaimana yang berlaku menurut BW dan hukum adat.

Tentang hukum waris Islam di Indonesia khususnya berkaitan dengan ahli waris pengganti sangat sering dikemukakan dalam perdebatan kewarisan. Meskipun telah dilegislasi melewati peraturan yang diberlakukan di Pengadilan Agama sebagai pedoman yustisia berupa Kompilasi Hukum Islam (KHI). Berbeda dengan era tahun 80-an ketika Munawir Sjadzali yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Agama RI melontarkan gagasan perlunya reaktualisasi hukum Islam mengenai hukum waris antara lelaki dan perempuan dari 2 :1 bagian menjadi dipersamakan 1:1. Polemik ini akhirnya berakhir dengan tetap komitmen 2 : 1. Kesepakatan pendapat ini hingga sekarang tetap diyakini keberadaannya yaitu 2:1 antara anak lelaki dengan perempuan. Hal ini dikarenakan atas dasar teks suci dalam al-Qur’an surah al-Nisā ayat 11.

Pasal 185 tidak mempunyai penjelasan pasal sehingga menimbulkan berbagai penafsiran. Di Indonesia, istilah ahli waris pengganti sudah dikenal lama melewati BW meski berbeda rincian dengan maksud yang ada pada Pasal 185 KHI. Keadaan ini pula banyak kalangan ahli hukum di Indonesia menyamakan persepsinya atas BW dalam persoalan ahli waris pengganti. Kenyataannya suatu teks sumber hukum atau undang-undang, kadang dapat memberikan pengertian yang bermacam karena dilihat dari cara yang digunakan oleh para ahli hukum untuk memahami petunjuknya. Keadaan ini terjadi dalam memahami butir Pasal 185 KHI.
Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Habiburrahman dalam disertasinya di UIN Sunan Gunung Djati menyatakan aturan dalam Pasal 185 KHI tentang ahli waris pengganti harus dihapus. Alasannya bahwa ahli waris pengganti bertentangan dengan otoritas keyakinan umat muslim dalam menjalankan ketentuan hukum Allah dan Rasulnya, prinsip keadilan dan asas legalitas dalam teori-teori penetapan hukum. Menurut penelitian ini juga menuduhkan bahwa Pasal 185 KHI berasal dari pemikiran Hazairin yang ditafsirkan menurut hukum adat menyesuaikannya dengan masyarakat Indonesia (teori receptie) dengan mengadopsi waris pergantian BW atau gabungan kedua sistem itu. Menurutnya Pasal 185 KHI merubah ketentuan Allah dan melanggar asas ijbari, suatu pemikiran yang tidak dilandasi keimanan kepada Allah dan ketaqwaan.
Penelitian tentang Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI tahun 2010 terhadap daerah yang dijadikan sampel penelitian seperti Gorontalo, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Yogyakarta, Sumatera Barat dan Sumatera Utara menunjukkan adanya penerimaan masyarakat Indonesia tentang ahli waris pengganti meskipun dengan variasi karena kurang memahami secara rinci tentang ahli waris pengganti. Penelitian tersebut menfokuskan tingkat pengetahuan ulama, tokoh masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam sangat rendah dengan kategori tiga kelompok yaitu kelompok ulama yang tidak mengetahui Kompilasi Hukum Islam, kedua yaitu kelompok ulama yang mengetahui tetapi tidak memperdalam Kompilasi Hukum Islam dan kelompok ketiga yaitu yang mengetahui dan memperdalam Kompilasi Hukum Islam. Ini menunjukkan Kompilasi Hukum Islam belum benar-benar menjadi fiqh khas Indonesia karena umumnya belum diketahui maupun dipelajari.
Maka, untuk menemukan hukum mengenai kedudukan dan hak bagian warisan cucu dari harta peninggalan kakek atau neneknya, ulama’ Indonesia telah melakukan ijtihad kolektif yang hasilnya menempatkan cucu sebagai ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal dunia lebih dahulu daripada pewaris ( kakek atau neneknya ), dan ketentuan hukum yang demikian itu dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam, Buku II, Tentang Hukum Kewarisan, yaitu dalam pasal 185 KHI :
(1) Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu daripada pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut 173
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti.

Dalam pemberlakuan ahli waris pengganti Pasal 185 KHI sekaligus upaya progresivitas atas masalah ahli waris pengganti dalam pemberlakuan hukum waris. Suatu pembangunan di bidang hukum kewarisan melalui pembaharuan hukum.




PEMBAHASAN

BAB I. DASAR HUKUM AHLI WARIS

1.      Hukum dan Dalil Pembagian Harta Warisan
Apabila seseorang meninggal dunia dan memiliki harta, maka harta tersebut dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya, menurut pembagian yang telah diatur dan ditetapkan oleh Islam.
Harta peninggalan si mayat dinamakan “tirkah” atau disebut “harta pusaka” atau “harta warisan”. Sedangkan orang yang berha k menerimanya disebut “ahli waris”.
Dalil tentang pembagian harta warisan adalah sebagai berikut:

Berdasar Al-Quran
a.    An-Nisa:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.

b.    An-Nisa:11-12

11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).  (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

Sabda Rasulullah saw
ألحقوا الفرائض بأهلها فما بقي فهو لأولى رجل ذكر
Berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih  utama. (Riwayat Bukhari dan Muslim)


2.      Sebab-sebab Waris dan Dalilnya
Ketetapan untuk seseorang agar mendapat warisan dari orang yang meninggal dunia dapat disebabkan karena:
a.         Pertalian darah dan kekerabatan atau kekeluargaan, baik pertalian lurus keatas, seperti bapak, kakek, ibu, nenek dan seterusnya atau kebalikannya.
b.        Kekerabatan (kekeluargaan) seperti ini dinamakan “nasab hakiki”. Kekerabatan menjadi sebab mendapat warisan, berdasar firman Allah
Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah…

3.      Cucu Sebagai Ahli Waris
Ahli waris yaitu orang-orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka) dari orang yang meninggal dunia. Ahli waris itu banyak jumlahnya, dan pada garis besarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a.    Ahli waris laki-laki
Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah, asal pertaliannya masih terus laki-laki
b.    Ahli waris perempuan
Cucu perempuan dari anak laki-laki dan terus ke bawah, asal pertaliannya dengan yang meninggal masih terus laki-laki.
c.    Ahli waris furudul-muqaddarah
Yang dimaksud dengan ahli waris furudul-muqaddarah yaitu ahli waris yang mendapat bagian tertentu dari harta warisan orang yang meninggal dunia. Atau disebut dengan “zawil-furud”
Bagian yang sudah ditentukan secara pasti dalam Al-Quran yaitu:
1)   Separoh/ setengah (1/2)
Cucu perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak perempuan (berdasarkan ijma’ ulama)
2)   Seperempat (1/4)
3)   Seperdelapan (1/8)
4)   Dua pertiga (2/3)
5)   Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak perempuan. Artinya cucu perempuan dari anak laki-lai kalau berbilang, sedangkan anak perempuan tidak ada, maka mereka mendapat warisan dari datuk mereka sebanyak 2/3 harta, berdasar qiyas, yaitu diqiyaskan dengan anak perempuan, karena cucu perempuan dari anak laki-laki dalam beberapa hal seperti hukum anak sejati.
6)   Sepertiga (1/3)
7)   Seperenam (1/6)
Cucu perempuan (seorang atau lebih) dari laki-laki. Cucu perempuan mendapat 1/6 apabila yang meninggal mempunyai anak tunggal. Akan tetapi jika mempunyai anak lebih dari satu orang, maka cucu peremuan tidak mendapat warisan.
“Rasulullah SAW telah menetapkan seperenam untuk cucu perempuan dari anak laki-laki beserta seorang anak perempuan.” (Bukhari)
d.   Ahli waris ‘ashobah
Ahli waris ‘ashabah adalah ahli waris yang dapat mewarisi seluruh harta atas semua sisa, setelah harta warisan atau semua sisa dikeluarkan dulu untuk ahli waris yang mendapat bagian tertentu dan bagian ahli waris ‘ashabah ini tidak ditentukan seperti bagian ahli waris furudul muqaddarah.
Apabila harta warisan itu telah habis dibagian kepada ahli waris fudul mqaddarah,, maka ahli waris ‘asabah tidak mendapat bagian sedikitpun, kecuali jika ahli waris ‘asabah itu anak, karena tidak dapat terhalang oleh siapapun. Sebaliknya apabila tidak ada seorangpun ahli waris furudul muqaddarah, maka ahli waris ‘asabah mendapat seuruh harta warisan itu. Atau jika waris fudul muqaddarah ada dan harta warisan tidak habis dibagikan kepada mereka, maka ahli waris ‘ashabah berhak mendapat sisanya.
Kedudukan cucu sebagai ahli waris ‘ashabah ada tiga golongan, yaitu:
1)      ‘ashabah bi nafsihi
Yakni ahli waris yang karena dirinya sendiri berhak menerima ‘ashabah. Mereka adalah semua orang laki-laki yang nasabnya dengan si mayat tidak diselingi oleh perempuan. Cucu laki-laki dari anak lak-laki.
2)      ‘ashabah bi gairihi
Yaitu setiap ahli waris perempuan yang mempunyai bagian tertentu, terdapat saudara laki-laki. Artinya apabila ahli waris perempuan yang mempunyai bagian tertentu itu ada saudara laki-laki, maka di saat itu mereka menjadi ‘ashabah dengan adanya saudara laki-laki. Seperti cucu perempuan dari anak laki-laki bersama dengan cucu laki-laki.
3)      ‘ashabah ma’a gairihi
a)      Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan (seorang atau lebih)
b)      Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan  aau cucu perempuan.

e.    Ahli waris Zawil arham
Yaitu orang-orang yang masih ada hubungan  nasab (keturunan) dengan orang yang meninggal dunia, tetapi bukan/tidak termasuk golongan ahli waris furudul muqaddarah dan bukan pula termasuk golongan ahli waris ‘ashabah.
Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan. Kedudukannya dalam masalah warisan sama dengan anak perempuan. Misalnya kalau anak perempuan mendapat separoh (1/2) maka mereka juga mendapat separoh (1/2).
Anak laki-laki dan anak perempuan dari cucu perempuan, kedudukannya sama dengan cucu perempuan.
Dari dasar hukum dan cara mereka menjadi ahli waris, mereka dapat disebut sebagai ahli waris pengganti. Tentang sejauh mana kedudukan mereka sebagai ahli waris dalam hubungannya dengan ahli waris langsung yang digantikannya, baik dari segi bagian yang mereka terima,maupun dari segi kekuatan kedudukannya, tidak ada petunjuk yang pasti dalam Al Qur’an maupun dalam hadits yang kuat. Dalam hal ini Allah menyerahkan kepada akal manusia untuk menemukan hukumnya. Para mujtahid pada umumnya berpendapat, bahwa kelompok yang disebut ahli waris pengganti, itu hak bagian waris yang mereka terima bukanlah hak bagian yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang digantikannya, dengan arti bahwa mereka tidak sepenuhnya menggantikan kedudukan ahli waris yang menghubungkannya kepada pewaris. Mereka menerima hak warisan karena kedudukannya sendiri sebagai ahli waris , sebagaimana berlaku pada ahli waris langsung. Contohnya sebagai berikut :
a)      Bagian yang diterima oleh cucu laki laki dari anak laki laki adalah sebagaimana yang diterima oleh anak laki laki, sedangkan untuk cucu perempuan dari anak laki laki bagian yang diterimanya adalah sebagaimana bagian yang diterima oleh anak perempuan, tidak sebagaimana hak bagian yang diterima oleh anak laki laki yang digantikannya dan yang menghubungkannya kepada pewaris.
b)       Kakek menerima bagian sebagaimana yang diterima aleh ayah, baik sebagai dzawil furudh maupun sebagai ashabah. Tetapi, kakek tidak berkedudukan sebagai ayah, ketika posisinya sebagai ahli waris dalam hal hal sebagai berikut : Ayah dapat menutup hak kewarisan saudara, tetapi kakek dapat mewarisi bersama saudara, kecuali menurut ulama’ Hanafi, bahwa kakek juga dapat menutup saudara. Ayah dapat menggeser hak kewarisan ibu dari 1/3 harta menjadi 1/3 dari sisa harta dalam masalah gharawain sebagaimana tersebut di atas, dan dalam hal ini kakek tidak dapat disamakan dengan ayah.
c)       Hak kewarisan nenek tidak sama dengan ibu, karena nenek dalam keadaan apapun  besaran hak bagiannya tetap 1/6, sedangkan ibu hak bagiannya bisa sebesar 1/3 apabila si pewaris tidak meninggalkan ahli waris anak, dan bisa mendapat bagian sebesar 1/6 apabila si pewaris meninggalkan ahli waris anak atau beberapa orang saudara. Kecuali menurut pendapat Zahiri bahwa nenek sepenuhnya menempati kedudukan ibu dalam hal mendapat 1/3 atau 1/6 bagian.
d)     Saudara se ayah tidak sepenuhnya menempati kedudukan saudara kandung. Misalnya, saudara laki laki kandung dapat menarik saudara perempuan kandung menjadi ahli waris ashabah, sedangkan saudara se ayah tidak demikian. Dan kalau saudara kandung dapat berserikat dengan saudara se ibu dalam masalah musyarakah, sedangkan saudara se ayah tidak dapat dipeerlakukan demikian.
e)       Anak saudara menerima bagian warisan sebagai anak saudara. Begitu pula paman dan anak paman menerima bagian warisan dalam kapasitas dan kedudukannya sebagai ahli waris tersendiri
                                               


BAB II. Pergantian Ahli Waris Menurut Hukum Islam

1.      Penafsiran QS. An-Nisa ayat 11 dan 12
Dalam QS. An-Nisā ayat 11 dan 12, Ayat tersebut di atas telah menampilkan secara lengkap jumlah fard yaitu bagian-bagian para ahli waris yang kemudian disebut oleh para ulama dengan istilah ashab al- furūd. Mereka beroleh hak yang pasti dengan angka bagian (fard) yaitu 1/2, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6, 1/8 dan angka berhak menghabisi sisa harta (`asabah). Namun demikian ayat-ayat tersebut tidak memuat perolehan hak para cucu. Berkata Zayd ibn Sabit


Anak dari anak laki-laki (cucu dari anak laki-laki) menempati kedudukan anak-anaknya (bapaknya) apabila tidak ada yang lain selain mereka. Anak-anak laki-laki mereka (cucu laki-laki) seperti laki-laki mereka (bapaknya) dan perempuan mereka (cucu perempuan) seperti perempuan mereka (ibunya). Mereka mewariskan sebagaimana mereka mewariskan dan mereka menghijab (menghalangi) yang lain, sebagaimana mereka menghijab.(H.R. Bukhari)

Berdasarkan pendapat Zayd ibn Sabit, maka cucu memperoleh hak warisnya sebagai pengganti dari orang tua mereka yaitu anak dari anak lelaki menempati kedudukan ayahnya (lelaki), demikian pula cucu dalam garis perempuan menempati garis perempuan. Pendapat ini sudah sangat baik dan dipandang sebagai kemaslahatan. Hanya jadi persoalan sistem ini mengakibatkan para cucu dari garis turun perempuan (Perempuan) sangat sulit memperoleh hak kewarisan. Para cucu dari lelaki terhalangi jika ada anak lelaki kakek (paman). Sedang para cucu dari perempuan lebih lagi di mana mereka terhalangi selama ada ada ahli waris żū al-furūd.
Anak-anak dari lelaki (para cucu dari lelaki) memperoleh `ushubah (mengambil semua sisa) jika si pewaris tidak mempunyai anak dan tidak ada ahli waris yang lain. Jika ia bersama dengan cucu lelaki dari lelaki lain maka ia berbagi sama dan jika bersama dengan cucu perempuan dari lelaki, maka cucu lelaki dari lelaki memperoleh dua bagian (2:1). Sedangkan cucu perempuan dari lelaki memperoleh bagian separoh (½) bila ia hanya sendirian dan 2/3 bila ia dua orang atau lebih. Jika ia bersama dengan cucu lelaki dari lelaki maka ia memperoleh bagian separoh dari saudaranya lelaki (cucu dari lelaki). Ini merupakan dialektis atas pemahaman terhadap anak lelaki dan anak perempuan pewaris dengan metode berfikir qiyās (analogi). Mereka juga memperkuat pendapat tersebut dengan dasar pendapat Ibn Mas`ūd (sahabat Rasul Allah s.a.w) yang mengatakan bahwa Nabi saw memahamkan demikian, sbb : 


Huzail Ibnu Surajil berkata, ditanyai Abu Musa tentang anak perempuan, cucu perempuan dari lelaki dan saudara perempuan kandung maka Abu Musa berkata bahwa anak perempuan memperoleh separoh (1/2) dan saudara perempuan separohnya (1/2). Lalu aku datang kepada Ibnu Mas`ud ra maka ditanyakan kepadanya, lalu Ibnu Mas`ud ra mengabarkan perkataan Abu Musa ra berkata, sungguh aku sesat jika tidak termasuk orang yang diberi petunjuk, aku memutus dengan apa yang diputus oleh nabi saw yaitu anak perempuan separoh (1/2), cucu perempuan dari lelaki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua pertiga sdan sisanya untuk saudara perempuan. Maka aku datang kepada Abu Musa ra dan aku kabarkan perkataan Ibnu Mas`ud maka Abu Musa berkata, aku tidak pernah ditanyai tentang itu selama ini. H.R. Bukhari
Selanjutnya tentang cucu lelaki atau perempuan dari perempuan, mereka dianggap tidak berhak atas waris bila masih ada far`u waris berupa ashab al-furūd (orang-orang yang telah ditentukan bagiannya) dan `asabah (orang yang menghabisi sisa). Mereka digolongkan termasuk sebagai żū al-arham yakni golongan yang bukan ashab al- furūd dan as}abah. Alasan umum pendapat mereka adalah bahwa para cucu perempuan dari perempuan tidak dibicarakan dalam teks-teks al-Qur'an. Kelompok ini disponsori oleh mayoritas jumhur ulama dalam mażhab Sunni (terutama Imam empat mażhab).
Meminjam istilah Jasser Auda, maqāsid al-syari`ah selain menarik tujuan, dalam merealisasikannya diperlukan validasi terhadap semua pengetahuan. Di sini ada `urf yang perlu diperhatikan. Konsep `urf sendiri dieloborasi dalam aspek sosiologis, filosofis dan yuridis dikarenakan ia hidup dalam sistem masyarakat. Secara sosiologis, para cucu dalam kehidupan masyarakat lebih dekat dengan orang yang meninggal ketimbang para saudara tanpa membedakan mereka dari anak turun lelaki (lelaki) ataupun anak turun perempuan (perempuan). Mereka tidak disebut dalam teks al-Qur`ān lantaran masih ada orang tua mereka yang masih hidup. Untuk itulah Za`id ibn Tsabit berfatwa bahwa para cucu menggantikan orang tua mereka menunjuk kedekatan mereka. Studi ini dapat dikembangkan lagi pada taraf keadilan. Meskipun fatwa tersebut akhirnya mengenyampingkan anak turun perempuan (cucu perempuan). Menafikan para anak turun perempuan merupakan kekeliruan secara sosiologis mapun filosofis kebenaran yang di tetapkan Tuhan. Ini dibuktikan bahwa anak perempuan tetap beroleh hak waris seperti halnya anak lelaki meski dengan porsi separoh dari anak lelaki.


BAB III. Pergantian Ahli Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam
Salah satu konsep pembaharuan Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah diberikannya hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam Pasal 185 KHI yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:
1.      Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. (Pasal 173  Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.)
2.      Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajad dengan yang diganti.

Dilihat dari tujuannya, pembaharuan hukum kewarisan tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah dan menghindari sengketa. Dalam kaitannya dengan hal ini, Soepomo dalam bukunya bahkan mengatakan bahwa munculnya institusi pergantian tempat didasarkan pada aliran pemikiran bahwa harta benda dalam keluarga sejak semula memang disediakan sebagai dasar material keluarga dan turunannya. Jika seorang anak meninggal sedang orangtuanya masih hidup, anak-anak dari orang yang meninggal dunia tersebut akan menggantikan kedudukan bapaknya sebagai ahli waris harta benda kakeknya. Namun demikian, KHI juga memberi batasan bahwa harta yang didapat oleh sang cucu bukanlah keseluruhan dari harta yang seharusnya didapat sang ayah, melainkan hanya 1/3 bagiannya saja. Walaupun demikian, dalam pembaharuan yang terjadi di beberapa Negara muslim lainnya seperti Mesir, Tunisia dan Pakistan, dalam konteks ini sang cucu bisa berlaku menghabiskan seluruh warisan ayahnya yang beralih kepadanya karena sang ayah sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Sebaliknya, di dalam kitab-kitab Fiqih Mawaris (Faraidh), khususnya kitab-kitab fiqih klasik, ketentuan ahli waris pengganti seperti demikian tidak dijumpai, kecuali hanya dalam menentukan besarnya bagian ahli waris dzawil arham bagi madzhab Ahlut Tanzil apabila tidak dijumpai ahli waris dzawil furud dan ahli waris ashabah.
Sebelum dilakukan pembahasan lebih jauh, tulisan ini akan melihat makna dari penggantian tempat ahli waris dari berbagai sudut. Istilah penggantian tempat dalam bahasa Belanda disebut dengan plaatsvervulling.
Penggantian tempat dalam hukum waris disebut dengan penggantian ahli waris, yaitu meninggal dunianya seseorang dengan meninggalkan cucu yang orangtuanya telah meninggal terlebih dahulu. Cucu ini menggantikan posisi orangtuanya yang telah meninggal untuk mendapatkan warisan dari kakek atau neneknya.
Besarnya bagian yang seharusnya diterima oleh cucu adalah sejumlah bagian yang seharusnya diterima orangtuanya jika mereka masih hidup. Menurut Alyasa’ Abubakar, dosen pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh, istilah penggantian tempat ini hanya dikenal dalam hukum barat (BW) dan hukum adat namun tidak dikenal dalam hukum Islam. Walaupun demikian, dengan adanya pembaharuan penafsiran hukum waris ini, istilah penggantian tempat pun kini sudah dibukukan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang kini digunakan dalam setiap penyelesaian sengketa di Mahkamah Syar’iyah. Syahrizal, Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, dalam disertasinya mengenai Penggantian Ahli Warisdalam Hukum Islam mengatakan bahwa jika dikaji secara mendalam, kitab fiqih klasik sebenarnya juga memberi peluang adanya pemberian saham waris kepada cucu walaupun konteksnya tidak sama dengan konteks hukum adat. Dalam disertasinya Syahrizal juga menyatakan pendapat Professor di bidang hukum, Ismuha, yang menjelaskan bahwa dalam kitab fiqih terdapat istilah penggantian tempat ahli waris namun dengan bentuk penggantian yang berbeda dengan apa yang terdapat dalam hukum adat. Selain itu, masih menurut Ismuha seperti dikutip Syahrizal, hak ahli waris pengganti pun tidak tentu sama dengan yang diganti. Dia mencontohkannya dalam Khulasah Ilmu Faraidh karya Amin al-Asyi dan Nihayat al-Muhtaj karya ar-Ramly.
Dalam kitab Nihayat al-Muhtaj, ar-Ramly menuliskan bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki dapat menggantikan ayahnya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, sedangkan cucu dari anak perempuan tidak mungkin. Cucu dari anak laki-laki baru dapat menggantikan orangtuanya apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki lain yang masih hidup. Namun demikian, jika anak laki-laki lain masih ada, cucu tersebut tidak mendapatkan apa-apa. Selain itu, sebut Syahrizal, satu-satunya pendapat yang mengatakan adanya penggantian tempat dalam hukum Islam adalah Hazairin. Pendapatnya hanyalah sekedar untuk menggugah para ahli hukum baik ahli hukum Islam maupun ahli-ahli hukum lain agar mau mengkaji dan meneliti lebih lanjut persoalan penggantian tempat ini. Hazairin memberikan penafsiran tentang adanya penggantian ahli waris dalam hukum Islam dengan mengambil dalil Ayat 33 Surah an-Nisa tersebut, yang menurut terjemahan Departemen Agama RI berbunyi:
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya (ahli waris). Dan (jika ada) orangorang yang kamu telah sumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
Secara bebas Hazairin menerangkan bahwa teks Ayat 33 Surah an-Nisa mengandung makna bahwa Allah mengadakan mawali untuk si fulan dari harta peninggalan orangtua dan keluarga dekat (serta allazina ‘aqadat aymanukum) dan bahwa untuk itu berikanlah kepada mawali itu (hak yang menjadi) bagiannya. Fulan dianggap sebagai ahli waris, karena diiringkan dengan kata walidan dan aqrabun yang menjadi pewaris. Apabila yang menjadi pewaris adalah orangtua (ayah atau ibu), ahli waris adalah anak dan atau mawali anak, demikian menurut Hazairin. Jika anak-anak itu masih hidup, tentu merekalah yang secara serta merta mengambil warisan berdasarkan Ayat 11 Surah an-Nisa. Di Indonesia, khususnya di Aceh, yang kehidupan hukum adatnya sangat kental dengan hukum Islam, kondisi ini memang menjadi persoalan yang masih diperdebatkan. Sebagian ulama, termasuk di Aceh, masih menolak adanya pembaharuan seperti yang tertera dalam KHI dengan alasan bahwa istilah penggantian tempat ini tidak ditemukan secara tegas dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadist Nabi yang menerangkan tentang hukum faraidh (hukum kewarisan). Namun demikian, mereka yang menerima keberadaan pembaruan penafsiran ini mendasarkan pada bahwa Islam juga membawa nilai keadilan, ukhuwah, persamaan, menjunjung tinggi anak yatim. Karena alasan inilah mereka menganggapnya sebagai suatu yang penting untuk dipraktekkan di Indonesia. Meski demikian, sebut Syahrizal, walau di dalam hukum adat di Aceh tidak dikenal dengan penggantian ahli waris, pada prakteknya banyak juga ahli waris yang memberikan sedikit atau sebagian hartanya untuk anakanak yatim yang ditinggalkan orangtuanya tadi. Patah Titi atau Putoh Tutu Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk Daud Zamzami, menerangkan bahwa tidakada alasan untuk memberi tafsiran lebih jauh tentang penggantian kedudukan ahli waris jika memang tidak terdapat penjelasan yang tegas didalam Al-Quran. Selain itu, dalam hukum adat di Aceh pun tidak terdapat aturan adanya penggantian kedudukan ahli waris. Aceh memegang hukum adat yang kental dengan hukum Islam. Dalam hukum adat di Aceh disebutkan bahwa jika seorang anak meninggal dunia, putuslah hubungan kewarisan yang dimiliki oleh orangtua si anak yang sudah meninggal tadi dengan keberadaan cucu (dalam hal ini hubungan kewarisan kakek dan cucu). Hak waris seorang cucu ini akan terhalangi oleh keberadaan saudara laki dan perempuan si anak yang meninggal. Istilah ini menurut Tgk Daud Zamzami dikenal dengan istilah Patah Titi atau Putoh Tutu atau Hijab. Di sini, sang ayah berlaku sebagai titi alias jembatan penghubung antara kakek dan cucu. Ketika sang ayah meninggal, terputuslah hubungan (khususnya hubungan penyebab kewarisan) antara kakek dan cucu. Kendati demikian, Islam tetap memandang kemuliaan dan keadilan bagi cucu atau anak yatim yang telah ditinggalkan oleh orangtuanya tadi, antara lain dengan memberikan atau menyisihkan sedikit bagian dari harta warisan tersebut kepada sang anak yatim. Selain itu, dalam aturan adat Aceh, sang kaum ulama yang menjadi saksi dalam pembagian warisan tersebut pun akan mendapat sedikit bagian yang dikenal dengan istilah hak raheung. Pemberian yang diberikan kepada anak yatim tersebut (kepada cucu ) dan ulama ini bukanlah disebut warisan, tetapi hibah. Sejumlah ulama di Aceh masih menganut ajaran
faraidh patah titi dengan berdasarkan pada kitab-kitab fiqih klasik. Oleh karena itu, wajarlah jika ada persengketaan perwarisan terkait dengan penggantian kedudukan ahli waris di Aceh yang sangat jarang diselesaikan lewat jalur hukum formal di Mahkamah Syar’iyah.
Hingga saat ini masih dipraktekkan sistem patah titi ini di Aceh. Penyelesaian kasus ini biasanya dilakukan secara adat dan agama dengan mengumpulkan orangtua kampung, ulama dan kaum kerabat. Dengan demikan nampak bahwa sedikit sekali yang menyelesaikannya di Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah. Pada kenyataannya, tidak sedikit anak yatim yang kini diasuh oleh kakek dan neneknya karena orangtua mereka meninggal akibat musibah gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004 lalu.
Terkait dengan penyelesaian sengketa kewarisan, sepanjang tahun 2007 Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh telah menangani 125 kasus kewarisan dan 292 kasus penetapan ahli waris (bukan penetapan penggantian ahli waris). Namun demikan, dalam kasus yang berkaitan dengan patah titi ini, dengan sendirinya Mahkamah Syar’iyah akan menerapkan ketentuan Pasal 185 KHI, yaitu menghapus lembaga patah titi yang dikenal oleh masyarakat Aceh yang sekaligus mengakui cucunya sebagai ahli waris pengganti bagi ayahnya yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari pada kakek/ neneknya.
Penggantian ahli waris merupakan suatu pembaharuan hukum Islam yang cukup besar di Indonesia. Jika aturan hukum ini disosialisasikan dengan baik, pemahaman patah titi tidak lagi mencuat dalam kehidupan masyarakat Aceh. Selain itu, pemahaman masyarakat akan kasus ini pun masih sangat terbatas. Tgk. Daud Zamzami mengatakan bahwa masyarakat tidak terlalu memahami aturan-aturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam dan juga tidak terlalu memahami ajaran-ajaran yang ada dalam kitab fiqih. Masyarakat hanya akan bertanya kepada guru-guru mereka, dalam hal ini ulama, jika mereka mendapatkan kesulitan.

Hirtoris yang melatar belakangi lahirnya pasal 185 KHI ini, yang tidak lain adalah adanya pemikiran, pembelaan dan perhatian yang ditujukan kepada “ cucu” kalau keberadaannya bersama dengan “ anak laki laki “, sebab menurut fiqih madzhab sunni , cucu dalam posisi yang demikian, terhijab hirman ( tertutup total ) oleh anak laki laki. Semangat pembelaan tersebut sejalan dengan keadaan yang berkembang di negara negara Islam lain seperti Mesir dan Pakistan, bahkan bergulirnya masaalah tersebut jauh lebih dahulu daripada apa yang dilakukan oleh ulama’ di Indonesia. Mesir, misalnya, dalam memecahkan masalah “ cucu “ ini memeilih jalan dengan memberikan porsi dari tirkah melalui lembaga “ wasiat wajibah “, sebagaimana tertuang dalam Undang Undang Mesir Tahun 1946 M. Dalam salah satu pasalnya berbunyi :

Jadi Mesir tetap memandang “cucu“ terhijab oleh anak laki laki kakek (Paman), lalu dicari jalan keluarnya dengan cara diberi bagian dari tirkah melalui “wasiatwajibah“. Sedang Pakistan sebagaimana tertuang dalam Undang undang Tahun 1961 memberi porsi kepada “cucu“ dengan jalan “penggantian tempat“, yakni menempatkan cucu kalau bersama dengan anak laki laki dapat menggantikan kedudukan orang tuanya yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Ternyata dalam memecahkan masalah cucu ini, Indonesia tidak mengikuti jejak Mesir dengan jalan memberi hak bagian kepada cucu dari harta peninggalan / warisan melalui wasiat wajibah, tapi mengikuti Pakistan dengan metode “penggantian tempat, sebagaimana dituangkan dalam pasal 185 KHI. Sekiranya dalam masalah pemberian bagian warisan terhadap cucu ini, KHI mengikuti jejak Mesir dengan jalan memberi hak bagian dari harta peninggalan melalui wasiat wajibah, maka penyelesaiannya menjadi mudah, karena sudah terlepas dari aturan dan ketentuan ketentuan hukum kewarisan Islam yang berlaku, sehingga di sana tidak menghadapi persoalan persoalan yang kemungkinan berbenturan dengan aturan dan ketentuan ketentuan dalam hukum kewarisan Islam dimaksud. Kalau kita kembali pada hirtoris yang melatar belakangi lahirnya pasal 185 KHI ini, serta semangat yang berkembang tentang upaya pemberian hak bagian dari harta peninggalan pewaris kepada “cucu” di negara negara Islam yang lain, maka kata kata pada pasal 185 ayat (1) yang berbunyi “ahli waris yang meninggal lebih dahulu“ seharusnya ditafsirkan sebagai “anak“, sedang kata kata pada ayat (2) yang berbunyi “ahli waris pengganti“ ditafsirkan sebagai “cucu“. Hal ini perlu dilakukan, agar makna pasal tersebut tidak meluas yang dapat berakibat tidak adanya kepastian. Di samping itu, bahwa dengan pembatasan penafsiran yang demikian, tujuan hukum dari pasal 185 KHI itu juga tetap akan tercapai, yaitu pembelaan mengenai nasib cucu kalau bersama dengan anak laki laki, yang menurut fiqih sunni kedudukannya sebagai ahli waris terhijab hirman oleh anak laki laki. Dengan adanya ketentuan pasal 185
KHI beserta pembatasan penafsiran seperti itu, cucu tetap didudukkan sebagai ahli waris pengganti, sehingga kedudukannya sebagai ahli waris tidak terhijab hirman lagi oleh anak laki laki, sehingga cucu tetap mendapatkan hak bagian warisan dari harta peninggalan kakek atau neneknya. Dan oleh karena itu, tujuan untuk membela dan memperjuangkan nasib cucu ketika bersama anak laki laki sebagai ahli waris dapat tercapai, seperti halnya di Pakistan dan di Mesir yang memberikan hak bagian warisan kepada cucu melalui wasiat wajibah. Sedangkan untuk selain keahliwarisan cucu, adalah bukan termasuk dalam konteks pasal 185 KHI, melainkan mereka menerima hak warisan karena kedudukannya sendiri sebagai ahli waris , sebagaimana berlaku pada ahli waris langsung.

Kedua macam cara pemecahan tersebut adalah sama sama merupakan hasil ijtihad, karena tidak adanya nash dari Al Qur’an maupun hadits yang secara eksplisit mendudukan cucu sebagai ahli waris pengganti, atau dengan memberikan hak bagian warisan kepadanya melalui wasiat wajibah, padahal kondisinya menuntut setiap pemikir hukum Islam untuk membelanya. Undang undang Mesir yang memberikan hak bagian warisan kepada cucu melalui wasiat wajibah didasarkan pada firman Allah surat Al Baqarah ayat 180.

180. diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.

Sedangkan dasar pemikiran untuk menempatkan cucu sebagai ahli waris pengganti adalah untuk memberikan payung hukum kewarisan terhadapnya ketika dia bersama dengan anak laki laki, sehingga yang semula menurut hukum kewarisan sunni, dia terhijab oleh anak laki, menjadi tidak terhijab, karena menempati kedudukan ayah atau ibunya yang telah meninggal dunia lebih dahulu daripada kakek atau neneknya. Menurut hukum kewarisan sunni, misalnya pewaris yang meninggalkan ahli waris, seorang ibu, suami (duda), anak laki laki, dan cucu laki laki dari anak perempuan atau dari anak laki laki , maka pembagiannya ialah ibu mendapat 1/6 karena ada anak, suami (duda) mendapat mendapat ¼ karena ada anak, lalu anak laki laki menjadi ahli waris ashabah, sedang cucu perempuan dari anak laki laki atau dari anak perempuan tidak mendapatkan bagian karena terhijab hirman oleh anak laki laki. Dari contoh kasus tersebut, dengan melihat bilangan angka penyebut dari pecahan hak bagian ahli waris dzawil furudh yang ada, maka bilangan angka terkecil yang bisa dibagi oleh masing masing bilangan angka penyebutnya, yang akan dijadikan patokan sebagai pokok masalah dalam membagi harta peninggalan ialah angka 12, sehingga penyelesaiannya sebagai berikut :
Ibu mendapat 1/6 x 12 = 2/12
Suami atau duda mendapat ¼ x 12 = 3/12
Sisa untuk anak laki laki = 7/12
Jumlah =12/12
Cucu pr/ Laki laki dr.anak laki laki = 0, karena terhijab hirman oleh anak laki
laki. Hal itu didasarkan pada hadits Nabi saw yang berbunyi :

“Berikanlah bagian bagian harta peninggalan itu kepada ahli waris yang berhak, kemudian sisanya untuk laki laki yang paling dekat (hubungan nasabnya dengan pewaris)(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam memahami dan manafsirkan hadits tersebut, ketika diterapkan dalam kasus cucu sebagai ahli waris bersama dengan anak laki laki, maka anak laki laki dipahami sebagai ahli waris yang paling dekat hubungannya dengan pewaris, sehingga anak laki laki merupakan ahli waris yang disebut dalam kata kata.
Dan oleh karena itu, cucu sebagai ahli waris menjadi terhijab oleh anak laki laki, baik cucu laki laki atau perempuan, dan baik dia dari anak laki laki maupun dari anak perempuan. Pemahaman terhadap hadits Nabi saw sebagaimana tersebut di atas, adalah sebatas merupakan pemahaman sebagai hasil ijtihad seseorang, yang tidak menutup kemungkinan adanya pemahaman lain yang berbeda. Dalam kasus anak laki laki sebagai ahli waris bersama dengan saudara laki laki, menurut pemahaman terhadap hadits tersebut, anak laki laki berkedudukan sebagai waris ashabah, yaitu mendapatkan sisa, yang sekaligus menghijab hirman terhadap saudara laki laki. Maka, pemahaman seperti itu adalah dapat diterima oleh rasa keadilan dan kemanusiaan, karena dari sisi hubungan darah anak laki laki adalah lebih dekat hubungannya dengan pewaris daripada saudara laki laki, dan oleh karena itu anak laki laki menghijab firman hak kewarisan saudara laki laki. Akan tetapi, dalam contoh kasus yang pertama tersebut di atas, maka pemahaman seperti itu masih perlu dipertanyakan, baik dari sisi rasa keadilan maupun dari sisi rasa kemanusiaan.
Seorang cucu adalah sosok yang sangat dekat hubungan nasabnya dengan pewaris (kakek dan neneknya), terutama cucu yang telah ditinggal mati oleh ayah dan ibunya. Terhadap cucu yang demikian itu, kakek maupun neneknya akan mencurahkan kasih sayangnya, untuk menggantikan kasih sayang yang telah hilang dan tidak diperolehnya kembali dari ayah atau ibunya yang telah meninggal dunia. Dengan demikian, hadits tersebut tidak dapat diterapkan dalam kasus keahli warisan cucu dalam kedudukan sebagai ahli waris bersama anak laki laki. Dan oleh karena itu, cucu sebagai ahli waris, dalam pandangan Kompilasi Hukum Islam pasal 185, tidak terhijab oleh anak laki laki, cucu tetap berhak mendapatkan warisan dari harta peninggalan kakek dan neneknya. Hanya saja, sangat disayangkan, ternyata KHI sendiri tidak menindak lanjutinya dengan pasal pasal yang merumuskan dan menjelaskan secara tegas dan rinci mengenai besaran hak bagian warisan cucu sesuai dengan posisinya saat dia menjadi ahli waris pengganti, KHI dengan pasal 85 ayat (2) hanya menggariskan limitasi besaran bagian ahli waris pengganti dengan ketentuan yang bersifat umum dan multi tafsir, sedang di dalam Al Qur’an maupun hadits juga tidak ada nash sebagai ketentuan yang menjelaskan besaran hak bagian warisannya, baik cucu laki laki maupun perempuan, dan baik dari anak laki laki maupun dari anak perempuan, sebagai ahli waris bersama anak laki laki maupun bersama anak perempuan , maka untuk itu diperlukan ijtihad.

Besarnya hak bagian Ahli Waris Pengganti
penyelesaiannya, ibu mendapat 1/6 karena ada anak, kemudian anak laki laki, anak perempuan, dan cucu laki laki dari anak laki laki, berkedudukan sebagai waris ashabah dengan ketentuan bagian anak laki laki dua kali bagian anak perempuan, dan bagian cucu laki laki dari anak laki laki disamakan dengan hak bagian anak perempuan. Sehingga untuk contoh kasus tersebut. Harus dicari bilangan Kelipatan Persekutuan yang Terkecil ( KPK / asal masalah ) yang bisa dibagi oleh penyebut bilangan pecahan 1/6 untuk ibu, 2/4 untuk anak laki laki, dan ¼ untuk masing masing anak perempuan dan cucu laki laki dari anak laki laki, yang kemudian digunakan untuk membagi seluruh nilai harta peninggalan ialah angka 24, maka harta warisan senilai Rp.240 jt dibagi 24 = @ Rp.10jt. Karenanya , pembagiannya dapat
diselesaikan sebagai berikut :
Ibu mendapat 1/6 x24 ** = 4 x @ Rp.10 jt = Rp. 40 jt.
Sisa = 20** x @ Rp 10 jt = Rp.200 jt **
Untuk anak laki laki2/4 x 20** = 10 x @ Rp.10 jt = Rp.100 jt
Anak perempuan ¼ x 20** = 5 x @ Rp.10 jt = Rp. 50 jt
Cucu laki laki ¼ x 2 0** = 5 x @ Rp.10 jt = Rp. 50 jt
Jumlah = 20** x @ Rp.10 jt = Rp.200 jt **
Contoh lain, seorang pewaris meninggalkan ahli waris, Ibu,Bapak, cucu perempuan dari anak laki laki maupun dari anak perempuan dan seorang anak perempuan. Maka berdasarkan ketentuan hukum kewarisan Islam dan pemahaman terhadap ketentuan pasal 185 ayat (2) KHI sebagaimana tersebut di atas, cucu dan anak perempuan mendapat 2/3, ibu mendapat 1/6 ( karena ada anak ) , dan Bapak bisa menjadi ahli waris ashabah, mendapat sisa, karena tidak ada ahli waris laki laki yang menjadi ahli waris ashabah, dan bisa pula Bapak berkedudukan sebagai ahli waris dzawil furudh yang besaran hak bagiannya 1/6 ( karena ada anak ), sehingga penyelesaiannya dengan menjadikan pokok masalah 6 :
Ibu mendapat 1/6 x 6 = 1/6
Cucu dan anak perempuan mendapat 2/3 x 6 = 4/6
( @ = 2 x 2 = 4 )
Ayah mendapat sisa = 1/6
Jumlah = 6/6
Atau ibu mendapat 1/6 x 6 = 1/6
Ayah mendapat 1/6 x 6 = 1/6
Cucu dan anak perempuan mendapat 2/3 x 6 = 4/6
( @ = 2 x 2 = 4 )
Jumlah = 6/6






PENUTUP

KESIMPULAN

Anak-anak dari lelaki (para cucu dari lelaki) memperoleh `ushubah (mengambil semua sisa) jika si pewaris tidak mempunyai anak dan tidak ada ahli waris yang lain. Jika ia bersama dengan cucu lelaki dari lelaki lain maka ia berbagi sama dan jika bersama dengan cucu perempuan dari lelaki, maka cucu lelaki dari lelaki memperoleh dua bagian (2:1). Sedangkan cucu perempuan dari lelaki memperoleh bagian separoh (½) bila ia hanya sendirian dan 2/3 bila ia dua orang atau lebih. Jika ia bersama dengan cucu lelaki dari lelaki maka ia memperoleh bagian separoh dari saudaranya lelaki (cucu dari lelaki). Ini merupakan dialektis atas pemahaman terhadap anak lelaki dan anak perempuan pewaris dengan metode berfikir qiyās (analogi). Mereka juga memperkuat pendapat tersebut dengan dasar pendapat Ibn Mas`ūd (sahabat Rasul Allah s.a.w) yang mengatakan bahwa Nabi saw memahamkan demikian, sbb :

Huzail Ibnu Surajil berkata, ditanyai Abu Musa tentang anak perempuan, cucu perempuan dari lelaki dan saudara perempuan kandung maka Abu Musa berkata bahwa anak perempuan memperoleh separoh (1/2) dan saudara perempuan separohnya (1/2). Lalu aku datang kepada Ibnu Mas`ud ra maka ditanyakan kepadanya, lalu Ibnu Mas`ud ra mengabarkan perkataan Abu Musa ra berkata, sungguh aku sesat jika tidak termasuk orang yang diberi petunjuk, aku memutus dengan apa yang diputus oleh nabi saw yaitu anak perempuan separoh (1/2), cucu perempuan dari lelaki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua pertiga sdan sisanya untuk saudara perempuan. Maka aku datang kepada Abu Musa ra dan aku kabarkan perkataan Ibnu Mas`ud maka Abu Musa berkata, aku tidak pernah ditanyai tentang itu selama ini. H.R. Bukhari
Selanjutnya tentang cucu lelaki atau perempuan dari perempuan, mereka dianggap tidak berhak atas waris bila masih ada far`u waris berupa ashab al-furūd (orang-orang yang telah ditentukan bagiannya) dan `asabah (orang yang menghabisi sisa). Mereka digolongkan termasuk sebagai żū al-arham yakni golongan yang bukan ashab al- furūd dan as}abah. Alasan umum pendapat mereka adalah bahwa para cucu perempuan dari perempuan tidak dibicarakan dalam teks-teks al-Qur'an. Kelompok ini disponsori oleh mayoritas jumhur ulama dalam mażhab Sunni (terutama Imam empat mażhab).


Pegrantian Ahli waris di Indonesia terrcantum dalam Pasal 185 KHI yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:
1.      Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. (Pasal 173  Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.)
2.      Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajad dengan yang diganti.


  




DAFTAR PUSTAKA

Ghazaly, Abr. Rahman. 1996. Materi Pokok Fiqih II Buku II Modul 7-12. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Habiburrahman. 2011. Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, disertasi tidak diterbitkan. Bandung : IAIN Sunan Gunung Djati
Latif, Abd. Rachman A. 2008.  Sistem Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Dalam Vidya 16, 1
Sarmadi, Akhmad Sukris. Ahli Waris Pengganti Pasal 185 Khi Dalam Perspektif Maqāsid Al-Syari’ah . IAIN Antasari Banjarmasin

Qohar, Adnan. Besarnya Hak Bagian Ahli Waris Pengganti

Wahyudi, Muhamad Isna.Keadilan Konsep Ahli Waris Pengganti
Zubair, Asni dan Lebba. 2009. Pergantian Ahli Waris Menurut Tinjauan Hukum Islam. Dalam Asy-syir’ah, 42, 2


By : RISMA RAHMAWATI dan SURIYANTI NASUTION  (TAFSIR HADIS AHKAM I)

1 comment: