Note “Apabila ada kesalahan dalam penulisan Arab mohon maaf dan bisa membantu saya memperbaiki dengan memberikan komentar”.
Berdasarkan pendapat
mayoritas ulama’ ahli faraidh, terkait dengan usaha untuk membela nasib cucu
sebagai ahli waris ketika bersama dengan anak laki laki, yang menurut fiqih
kewarisan sunni, cucu dalam keadaan demikian terhijab atau terdinding total
oleh anak laki laki, sehingga tidak mendapatkan hak bagian warisan sama sekali.
Pendapat yang umum dalam hukum kewarisan Islam
menyatakan bahwa cucu yang dapat menggantikan anak hanyalah cucu melalui anak
laki-laki dan tidak cucu melalui anak perempuan. Begitu pula anak saudara yang
menggantikan saudara hanyalah anak dari saudara laki-laki, bukan perempuan.
Sementara ulama Syi’ah tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam masalah
ahli waris pengganti ini. Dengan demikian keturunan dari jalur laki-laki dan jalur
perempuan sama-sama berhak atas harta warisan nenek atau kakeknya.
Selain itu, pendapat yang umum dalam hukum
Islam menempatkan cucu dalam hak kewarisan adalah sebagai cucu secara langsung
dan bukan menempati kedudukan ayahnya secara penuh sebagaimana yang berlaku
dalam BW. Dalam kedudukan dan dalam urutan kewarisan anak lebih dahulu dari
pada cucu, sehingga cucu selalu tertutup bila masih ada anak yang masih hidup,
baik anak itu ayahnya sendiri atau saudara ayahnya, oleh karena itu cucu yang
ayahnya mati lebih dahulu tidak berhak menerima warisan kakeknya bila ada
pamannya yang masih hidup artinya tidak berlaku secara penuh sebagaimana yang
berlaku menurut BW dan hukum adat.
Tentang hukum waris Islam di Indonesia khususnya
berkaitan dengan ahli waris pengganti sangat sering dikemukakan dalam
perdebatan kewarisan. Meskipun telah dilegislasi melewati peraturan yang
diberlakukan di Pengadilan Agama sebagai pedoman yustisia berupa Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Berbeda dengan era tahun 80-an ketika Munawir Sjadzali yang
ketika itu menjabat sebagai Menteri Agama RI melontarkan gagasan perlunya
reaktualisasi hukum Islam mengenai hukum waris antara lelaki dan perempuan dari
2 :1 bagian menjadi dipersamakan 1:1. Polemik ini akhirnya berakhir dengan
tetap komitmen 2 : 1. Kesepakatan pendapat ini hingga sekarang tetap diyakini
keberadaannya yaitu 2:1 antara anak lelaki dengan perempuan. Hal ini
dikarenakan atas dasar teks suci dalam al-Qur’an surah al-Nisā ayat 11.
Pasal 185 tidak mempunyai penjelasan pasal sehingga
menimbulkan berbagai penafsiran. Di Indonesia, istilah ahli waris pengganti
sudah dikenal lama melewati BW meski berbeda rincian dengan maksud yang ada
pada Pasal 185 KHI. Keadaan ini pula banyak kalangan ahli hukum di Indonesia
menyamakan persepsinya atas BW dalam persoalan ahli waris pengganti.
Kenyataannya suatu teks sumber hukum atau undang-undang, kadang dapat
memberikan pengertian yang bermacam karena dilihat dari cara yang digunakan
oleh para ahli hukum untuk memahami petunjuknya. Keadaan ini terjadi dalam
memahami butir Pasal 185 KHI.
Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh
Habiburrahman dalam disertasinya di UIN Sunan Gunung Djati menyatakan aturan
dalam Pasal 185 KHI tentang ahli waris pengganti harus dihapus. Alasannya bahwa
ahli waris pengganti bertentangan dengan otoritas keyakinan umat muslim dalam
menjalankan ketentuan hukum Allah dan Rasulnya, prinsip keadilan dan asas
legalitas dalam teori-teori penetapan hukum. Menurut penelitian ini juga
menuduhkan bahwa Pasal 185 KHI berasal dari pemikiran Hazairin yang ditafsirkan
menurut hukum adat menyesuaikannya dengan masyarakat Indonesia (teori
receptie) dengan mengadopsi waris pergantian BW atau gabungan kedua sistem
itu. Menurutnya Pasal 185 KHI merubah ketentuan Allah dan melanggar asas ijbari,
suatu pemikiran yang tidak dilandasi keimanan kepada Allah dan ketaqwaan.
Penelitian tentang Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan
Umat Islam Indonesia yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI tahun 2010 terhadap daerah yang
dijadikan sampel penelitian seperti Gorontalo, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Selatan, Yogyakarta, Sumatera Barat dan Sumatera Utara menunjukkan adanya
penerimaan masyarakat Indonesia tentang ahli waris pengganti meskipun dengan
variasi karena kurang memahami secara rinci tentang ahli waris pengganti.
Penelitian tersebut menfokuskan tingkat pengetahuan ulama, tokoh masyarakat
terhadap Kompilasi Hukum Islam sangat rendah dengan kategori tiga kelompok
yaitu kelompok ulama yang tidak mengetahui Kompilasi Hukum Islam, kedua yaitu
kelompok ulama yang mengetahui tetapi tidak memperdalam Kompilasi Hukum Islam
dan kelompok ketiga yaitu yang mengetahui dan memperdalam Kompilasi Hukum
Islam. Ini menunjukkan Kompilasi Hukum Islam belum benar-benar menjadi fiqh
khas Indonesia karena umumnya belum diketahui maupun dipelajari.
Maka, untuk menemukan hukum mengenai kedudukan dan hak
bagian warisan cucu dari harta peninggalan kakek atau neneknya, ulama’
Indonesia telah melakukan ijtihad kolektif yang hasilnya menempatkan cucu
sebagai ahli waris pengganti yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah
meninggal dunia lebih dahulu daripada pewaris ( kakek atau neneknya ), dan
ketentuan hukum yang demikian itu dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam, Buku II,
Tentang Hukum Kewarisan, yaitu dalam pasal 185 KHI :
(1)
Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu daripada pewaris maka
kedudukannya
dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut 173
(2)
Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat
dengan yang diganti.
Dalam
pemberlakuan ahli waris pengganti Pasal 185 KHI sekaligus upaya progresivitas
atas masalah ahli waris pengganti dalam pemberlakuan hukum waris. Suatu
pembangunan di bidang hukum kewarisan melalui pembaharuan hukum.
PEMBAHASAN
BAB I. DASAR HUKUM
AHLI WARIS
1. Hukum dan Dalil Pembagian Harta Warisan
Apabila seseorang meninggal dunia dan
memiliki harta, maka harta tersebut dibagikan kepada orang yang berhak
menerimanya, menurut pembagian yang
telah diatur dan ditetapkan oleh Islam.
Harta peninggalan si mayat dinamakan
“tirkah” atau disebut “harta pusaka” atau “harta warisan”. Sedangkan orang yang
berha k menerimanya disebut “ahli waris”.
Dalil tentang pembagian harta warisan
adalah sebagai berikut:
Berdasar
Al-Quran
a. An-Nisa:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
b. An-Nisa:11-12
11. Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. dan bagimu (suami-suami)
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai
anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.
Sabda Rasulullah saw
ألحقوا
الفرائض بأهلها فما بقي فهو لأولى رجل ذكر
Berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
2.
Sebab-sebab
Waris dan Dalilnya
Ketetapan untuk seseorang agar
mendapat warisan dari orang yang meninggal dunia dapat disebabkan karena:
a.
Pertalian darah
dan kekerabatan atau kekeluargaan, baik pertalian lurus keatas, seperti bapak,
kakek, ibu, nenek dan seterusnya atau kebalikannya.
b.
Kekerabatan
(kekeluargaan) seperti ini dinamakan “nasab hakiki”. Kekerabatan menjadi sebab
mendapat warisan, berdasar firman Allah
…Orang-orang
yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah…
3.
Cucu
Sebagai Ahli Waris
Ahli waris yaitu orang-orang yang berhak menerima warisan
(harta pusaka) dari orang yang meninggal dunia. Ahli waris itu banyak
jumlahnya, dan pada garis besarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Ahli
waris laki-laki
Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah,
asal pertaliannya masih terus laki-laki
b. Ahli
waris perempuan
Cucu perempuan dari anak laki-laki dan terus ke bawah,
asal pertaliannya dengan yang meninggal masih terus laki-laki.
c. Ahli
waris furudul-muqaddarah
Yang dimaksud dengan ahli waris furudul-muqaddarah
yaitu ahli waris yang mendapat bagian tertentu dari harta warisan orang yang
meninggal dunia. Atau disebut dengan “zawil-furud”
Bagian yang sudah ditentukan secara
pasti dalam Al-Quran yaitu:
1) Separoh/
setengah (1/2)
Cucu perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada
anak perempuan (berdasarkan ijma’ ulama)
2) Seperempat
(1/4)
3) Seperdelapan
(1/8)
4) Dua
pertiga (2/3)
5) Dua
orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak
perempuan. Artinya cucu perempuan dari anak laki-lai kalau berbilang, sedangkan
anak perempuan tidak ada, maka mereka mendapat warisan dari datuk mereka
sebanyak 2/3 harta, berdasar qiyas, yaitu diqiyaskan dengan anak perempuan,
karena cucu perempuan dari anak laki-laki dalam beberapa hal seperti hukum anak
sejati.
6) Sepertiga
(1/3)
7) Seperenam
(1/6)
Cucu perempuan (seorang atau lebih) dari laki-laki.
Cucu perempuan mendapat 1/6 apabila yang meninggal mempunyai anak tunggal. Akan
tetapi jika mempunyai anak lebih dari satu orang, maka cucu peremuan tidak
mendapat warisan.
“Rasulullah SAW telah menetapkan seperenam untuk cucu
perempuan dari anak laki-laki beserta seorang anak perempuan.” (Bukhari)
d. Ahli
waris ‘ashobah
Ahli waris ‘ashabah adalah ahli waris
yang dapat mewarisi seluruh harta atas semua sisa, setelah harta warisan atau
semua sisa dikeluarkan dulu untuk ahli waris yang mendapat bagian tertentu dan
bagian ahli waris ‘ashabah ini tidak ditentukan seperti bagian ahli waris
furudul muqaddarah.
Apabila harta warisan itu telah habis
dibagian kepada ahli waris fudul mqaddarah,, maka ahli waris ‘asabah tidak
mendapat bagian sedikitpun, kecuali jika ahli waris ‘asabah itu anak, karena
tidak dapat terhalang oleh siapapun. Sebaliknya apabila tidak ada seorangpun
ahli waris furudul muqaddarah, maka ahli waris ‘asabah mendapat seuruh harta
warisan itu. Atau jika waris fudul muqaddarah ada dan harta warisan tidak habis
dibagikan kepada mereka, maka ahli waris ‘ashabah berhak mendapat sisanya.
Kedudukan cucu sebagai ahli waris
‘ashabah ada tiga golongan, yaitu:
1) ‘ashabah
bi nafsihi
Yakni ahli waris yang karena dirinya sendiri berhak
menerima ‘ashabah. Mereka adalah semua orang laki-laki yang nasabnya dengan si
mayat tidak diselingi oleh perempuan. Cucu laki-laki dari anak lak-laki.
2) ‘ashabah
bi gairihi
Yaitu setiap ahli waris perempuan yang mempunyai
bagian tertentu, terdapat saudara laki-laki. Artinya apabila ahli waris
perempuan yang mempunyai bagian tertentu itu ada saudara laki-laki, maka di
saat itu mereka menjadi ‘ashabah dengan adanya saudara laki-laki. Seperti cucu
perempuan dari anak laki-laki bersama dengan cucu laki-laki.
3) ‘ashabah
ma’a gairihi
a) Saudara
perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan atau
cucu perempuan (seorang atau lebih)
b) Saudara
perempuan sebapak (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan aau cucu perempuan.
e. Ahli
waris Zawil arham
Yaitu orang-orang yang masih ada
hubungan nasab (keturunan) dengan orang
yang meninggal dunia, tetapi bukan/tidak termasuk golongan ahli waris furudul
muqaddarah dan bukan pula termasuk golongan ahli waris ‘ashabah.
Cucu (laki-laki atau perempuan) dari
anak perempuan. Kedudukannya dalam masalah warisan sama dengan anak perempuan.
Misalnya kalau anak perempuan mendapat separoh (1/2) maka mereka juga mendapat
separoh (1/2).
Anak laki-laki dan anak perempuan
dari cucu perempuan, kedudukannya sama dengan cucu perempuan.
Dari dasar hukum dan cara mereka
menjadi ahli waris, mereka dapat disebut sebagai ahli waris pengganti. Tentang
sejauh mana kedudukan mereka sebagai ahli waris dalam hubungannya dengan ahli
waris langsung yang digantikannya, baik dari segi bagian yang mereka
terima,maupun dari segi kekuatan kedudukannya, tidak ada petunjuk yang pasti
dalam Al Qur’an maupun dalam hadits yang kuat. Dalam hal ini Allah menyerahkan
kepada akal manusia untuk menemukan hukumnya. Para mujtahid pada umumnya
berpendapat, bahwa kelompok yang disebut ahli waris pengganti, itu hak bagian
waris yang mereka terima bukanlah hak bagian yang seharusnya diterima oleh ahli
waris yang digantikannya, dengan arti bahwa mereka tidak sepenuhnya
menggantikan kedudukan ahli waris yang menghubungkannya kepada pewaris. Mereka
menerima hak warisan karena kedudukannya sendiri sebagai ahli waris ,
sebagaimana berlaku pada ahli waris langsung. Contohnya sebagai berikut :
a)
Bagian yang
diterima oleh cucu laki laki dari anak laki laki adalah sebagaimana yang diterima oleh anak laki laki,
sedangkan untuk cucu perempuan dari anak laki laki
bagian yang diterimanya adalah sebagaimana bagian yang diterima oleh anak perempuan, tidak sebagaimana hak bagian
yang diterima oleh anak laki laki yang digantikannya
dan yang menghubungkannya kepada pewaris.
b) Kakek menerima bagian sebagaimana yang
diterima aleh ayah, baik sebagai dzawil furudh maupun sebagai ashabah. Tetapi,
kakek tidak berkedudukan sebagai ayah, ketika posisinya sebagai ahli waris
dalam hal hal sebagai berikut : Ayah dapat menutup hak kewarisan saudara,
tetapi kakek dapat mewarisi bersama saudara, kecuali menurut ulama’ Hanafi, bahwa
kakek juga dapat menutup saudara. Ayah dapat menggeser hak kewarisan ibu dari
1/3 harta menjadi 1/3 dari sisa harta dalam masalah gharawain sebagaimana
tersebut di atas, dan dalam hal ini kakek tidak dapat disamakan dengan ayah.
c) Hak kewarisan nenek tidak sama dengan ibu,
karena nenek dalam keadaan apapun besaran
hak bagiannya tetap 1/6, sedangkan ibu hak bagiannya bisa sebesar 1/3 apabila
si pewaris tidak meninggalkan ahli waris anak, dan bisa mendapat bagian sebesar
1/6 apabila si pewaris meninggalkan ahli waris anak atau beberapa orang saudara.
Kecuali menurut pendapat Zahiri bahwa nenek sepenuhnya menempati kedudukan ibu
dalam hal mendapat 1/3 atau 1/6 bagian.
d) Saudara
se ayah tidak sepenuhnya menempati kedudukan saudara kandung. Misalnya, saudara
laki laki kandung dapat menarik saudara perempuan kandung menjadi ahli waris
ashabah, sedangkan saudara se ayah tidak demikian. Dan kalau saudara kandung
dapat berserikat dengan saudara se ibu dalam masalah musyarakah, sedangkan
saudara se ayah tidak dapat dipeerlakukan demikian.
e) Anak saudara menerima bagian warisan sebagai
anak saudara. Begitu pula paman dan anak paman menerima bagian warisan dalam
kapasitas dan kedudukannya sebagai ahli waris tersendiri
BAB II. Pergantian Ahli Waris Menurut Hukum Islam
1. Penafsiran QS. An-Nisa ayat 11 dan 12
Dalam QS.
An-Nisā ayat 11 dan 12, Ayat
tersebut di atas telah menampilkan secara lengkap jumlah fard yaitu bagian-bagian para ahli waris yang
kemudian disebut oleh para ulama dengan istilah ashab al- furūd. Mereka
beroleh hak yang pasti dengan angka bagian (fard) yaitu 1/2, 1/4, 1/3,
2/3, 1/6, 1/8 dan angka berhak menghabisi sisa harta (`asabah).
Namun demikian ayat-ayat tersebut tidak memuat perolehan hak para cucu. Berkata
Zayd ibn Sabit
Anak dari anak laki-laki
(cucu dari anak laki-laki) menempati kedudukan anak-anaknya (bapaknya) apabila
tidak ada yang lain selain mereka. Anak-anak laki-laki mereka (cucu laki-laki)
seperti laki-laki mereka (bapaknya) dan perempuan mereka (cucu perempuan)
seperti perempuan mereka (ibunya). Mereka mewariskan sebagaimana mereka
mewariskan dan mereka menghijab (menghalangi) yang lain, sebagaimana mereka
menghijab.(H.R. Bukhari)
Berdasarkan
pendapat Zayd ibn Sabit, maka cucu memperoleh hak warisnya sebagai pengganti
dari orang tua mereka yaitu anak dari anak lelaki menempati kedudukan ayahnya (lelaki),
demikian pula cucu dalam garis perempuan menempati garis perempuan. Pendapat
ini sudah sangat baik dan dipandang sebagai kemaslahatan. Hanya jadi persoalan
sistem ini mengakibatkan para cucu dari garis turun perempuan (Perempuan)
sangat sulit memperoleh hak kewarisan. Para cucu dari lelaki terhalangi jika
ada anak lelaki kakek (paman). Sedang para cucu dari perempuan lebih lagi di
mana mereka terhalangi selama ada ada ahli waris żū al-furūd.
Anak-anak dari lelaki (para cucu dari
lelaki) memperoleh `ushubah (mengambil semua sisa) jika si pewaris tidak
mempunyai anak dan tidak ada ahli waris yang lain. Jika ia bersama dengan cucu
lelaki dari lelaki lain maka ia berbagi sama dan jika bersama dengan cucu
perempuan dari lelaki, maka cucu lelaki dari lelaki memperoleh dua bagian
(2:1). Sedangkan cucu perempuan dari lelaki memperoleh bagian separoh (½) bila
ia hanya sendirian dan 2/3 bila ia dua orang atau lebih. Jika ia bersama dengan
cucu lelaki dari lelaki maka ia memperoleh bagian separoh dari saudaranya
lelaki (cucu dari lelaki). Ini merupakan dialektis atas pemahaman terhadap anak
lelaki dan anak perempuan pewaris dengan metode berfikir qiyās (analogi).
Mereka juga memperkuat pendapat tersebut dengan dasar pendapat Ibn Mas`ūd
(sahabat Rasul Allah s.a.w) yang mengatakan bahwa Nabi saw memahamkan demikian,
sbb :
Huzail Ibnu Surajil berkata, ditanyai Abu Musa tentang
anak perempuan, cucu perempuan dari lelaki dan saudara perempuan kandung maka
Abu Musa berkata bahwa anak perempuan memperoleh separoh (1/2) dan saudara
perempuan separohnya (1/2). Lalu aku datang kepada Ibnu Mas`ud ra maka
ditanyakan kepadanya, lalu Ibnu Mas`ud ra mengabarkan perkataan Abu Musa ra
berkata, sungguh aku sesat jika tidak termasuk orang yang diberi petunjuk, aku
memutus dengan apa yang diputus oleh nabi saw yaitu anak perempuan separoh (1/2),
cucu perempuan dari lelaki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua pertiga sdan
sisanya untuk saudara perempuan. Maka aku datang kepada Abu Musa ra dan aku
kabarkan perkataan Ibnu Mas`ud maka Abu Musa berkata, aku tidak pernah ditanyai
tentang itu selama ini. H.R. Bukhari
Selanjutnya tentang cucu lelaki atau perempuan dari
perempuan, mereka dianggap tidak berhak atas waris bila masih ada far`u
waris berupa ashab al-furūd (orang-orang yang telah
ditentukan bagiannya) dan `asabah (orang yang menghabisi sisa). Mereka
digolongkan termasuk sebagai żū al-arham yakni golongan yang bukan ashab
al- furūd dan as}abah. Alasan umum pendapat mereka adalah bahwa para
cucu perempuan dari
perempuan tidak dibicarakan dalam teks-teks al-Qur'an. Kelompok ini disponsori
oleh mayoritas jumhur ulama dalam mażhab Sunni (terutama Imam empat mażhab).
Meminjam
istilah Jasser Auda, maqāsid al-syari`ah selain menarik tujuan,
dalam merealisasikannya diperlukan validasi terhadap semua pengetahuan. Di sini
ada `urf yang perlu diperhatikan. Konsep `urf sendiri dieloborasi
dalam aspek sosiologis, filosofis dan yuridis dikarenakan ia hidup dalam sistem
masyarakat. Secara sosiologis, para cucu dalam kehidupan masyarakat lebih dekat
dengan orang yang meninggal ketimbang para saudara tanpa membedakan mereka dari
anak turun lelaki (lelaki) ataupun anak turun perempuan (perempuan). Mereka
tidak disebut dalam teks al-Qur`ān lantaran masih ada orang tua mereka yang
masih hidup. Untuk itulah Za`id ibn Tsabit berfatwa bahwa para cucu menggantikan orang tua mereka
menunjuk kedekatan mereka. Studi ini dapat dikembangkan lagi pada taraf keadilan. Meskipun fatwa tersebut
akhirnya mengenyampingkan anak turun perempuan (cucu perempuan). Menafikan para
anak turun perempuan merupakan kekeliruan secara sosiologis mapun filosofis
kebenaran yang di tetapkan Tuhan. Ini dibuktikan bahwa anak perempuan tetap
beroleh hak waris seperti halnya anak lelaki meski dengan porsi separoh dari
anak lelaki.
BAB III. Pergantian Ahli Waris
Menurut Kompilasi Hukum
Islam
Salah satu konsep pembaharuan Hukum Kewarisan
Islam dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah diberikannya hak seorang ahli
waris yang telah meninggal dunia kepada keturunannya yang masih hidup. Aturan ini
tercantum dalam Pasal 185 KHI yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:
1.
Ahli waris yang
meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. (Pasal 173
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: a. dipersalahkan
telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; b.
dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.)
2. Bagian
ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajad
dengan yang diganti.
Dilihat dari tujuannya, pembaharuan
hukum kewarisan tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah dan
menghindari sengketa. Dalam kaitannya dengan hal ini, Soepomo dalam bukunya
bahkan mengatakan bahwa munculnya institusi pergantian tempat didasarkan pada
aliran pemikiran bahwa harta benda dalam keluarga sejak semula memang
disediakan sebagai dasar material keluarga dan turunannya. Jika seorang anak
meninggal sedang orangtuanya masih hidup, anak-anak dari orang yang meninggal
dunia tersebut akan menggantikan kedudukan bapaknya sebagai ahli waris harta
benda kakeknya. Namun demikian, KHI juga memberi batasan bahwa harta yang
didapat oleh sang cucu bukanlah keseluruhan dari harta yang seharusnya didapat
sang ayah, melainkan hanya 1/3 bagiannya saja. Walaupun demikian, dalam
pembaharuan yang terjadi di beberapa Negara muslim lainnya seperti Mesir, Tunisia
dan Pakistan, dalam konteks ini sang cucu bisa berlaku menghabiskan seluruh
warisan ayahnya yang beralih kepadanya karena sang ayah sudah meninggal dunia
terlebih dahulu. Sebaliknya, di dalam kitab-kitab Fiqih Mawaris (Faraidh),
khususnya kitab-kitab fiqih klasik, ketentuan ahli waris pengganti seperti
demikian tidak dijumpai, kecuali hanya dalam menentukan besarnya bagian ahli waris
dzawil arham bagi madzhab Ahlut Tanzil apabila tidak dijumpai ahli waris dzawil
furud dan ahli waris ashabah.
Sebelum dilakukan pembahasan lebih
jauh, tulisan ini akan melihat
makna dari penggantian tempat ahli waris dari berbagai sudut. Istilah
penggantian tempat dalam bahasa Belanda disebut dengan plaatsvervulling.
Penggantian tempat dalam hukum waris
disebut dengan penggantian ahli waris, yaitu meninggal dunianya seseorang
dengan meninggalkan cucu yang orangtuanya telah meninggal terlebih dahulu. Cucu
ini menggantikan posisi orangtuanya yang telah meninggal untuk mendapatkan
warisan dari kakek atau neneknya.
Besarnya bagian yang seharusnya
diterima oleh cucu adalah sejumlah bagian yang seharusnya diterima orangtuanya
jika mereka masih hidup. Menurut Alyasa’ Abubakar, dosen pascasarjana Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh, istilah penggantian tempat ini
hanya dikenal dalam hukum barat (BW) dan hukum adat namun tidak dikenal dalam
hukum Islam. Walaupun demikian, dengan adanya pembaharuan penafsiran hukum
waris ini, istilah penggantian tempat pun kini sudah dibukukan dalam Kompilasi
Hukum Islam, yang kini digunakan dalam setiap penyelesaian sengketa di Mahkamah
Syar’iyah. Syahrizal, Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, dalam disertasinya
mengenai Penggantian Ahli Warisdalam Hukum Islam mengatakan bahwa jika dikaji
secara mendalam, kitab fiqih klasik sebenarnya juga memberi peluang adanya pemberian
saham waris kepada cucu walaupun konteksnya tidak sama dengan konteks hukum adat.
Dalam disertasinya Syahrizal juga menyatakan pendapat Professor di bidang
hukum, Ismuha, yang menjelaskan bahwa dalam kitab fiqih terdapat istilah penggantian
tempat ahli waris namun dengan bentuk penggantian yang berbeda dengan apa yang
terdapat dalam hukum adat. Selain itu, masih menurut Ismuha seperti dikutip
Syahrizal, hak ahli waris pengganti pun tidak tentu sama dengan yang diganti.
Dia mencontohkannya dalam Khulasah Ilmu Faraidh karya Amin al-Asyi dan Nihayat
al-Muhtaj karya ar-Ramly.
Dalam kitab Nihayat al-Muhtaj,
ar-Ramly menuliskan bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki dapat menggantikan
ayahnya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, sedangkan cucu dari anak
perempuan tidak mungkin. Cucu dari anak laki-laki baru dapat menggantikan
orangtuanya apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki lain yang masih hidup.
Namun demikian, jika anak laki-laki lain masih ada, cucu tersebut tidak
mendapatkan apa-apa. Selain itu, sebut Syahrizal, satu-satunya pendapat yang
mengatakan adanya penggantian tempat dalam hukum Islam adalah Hazairin.
Pendapatnya hanyalah sekedar untuk menggugah para ahli hukum baik ahli hukum
Islam maupun ahli-ahli hukum lain agar mau mengkaji dan meneliti lebih lanjut
persoalan penggantian tempat ini. Hazairin memberikan penafsiran tentang adanya
penggantian ahli waris dalam hukum Islam dengan mengambil dalil Ayat 33 Surah
an-Nisa tersebut, yang menurut terjemahan Departemen Agama RI berbunyi:
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan
dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan
pewaris-pewarisnya (ahli waris). Dan (jika ada) orangorang yang kamu telah
sumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
Secara bebas Hazairin menerangkan
bahwa teks Ayat 33 Surah an-Nisa mengandung makna bahwa Allah mengadakan mawali
untuk si fulan dari harta peninggalan orangtua dan keluarga dekat (serta
allazina ‘aqadat aymanukum) dan bahwa untuk itu berikanlah kepada mawali itu
(hak yang menjadi) bagiannya. Fulan dianggap sebagai ahli waris, karena
diiringkan dengan kata walidan dan aqrabun yang menjadi pewaris. Apabila yang
menjadi pewaris adalah orangtua (ayah atau ibu), ahli waris adalah anak dan
atau mawali anak, demikian menurut Hazairin. Jika anak-anak itu masih hidup,
tentu merekalah yang secara serta merta mengambil warisan berdasarkan Ayat 11
Surah an-Nisa. Di Indonesia, khususnya di Aceh, yang kehidupan hukum adatnya
sangat kental dengan hukum Islam, kondisi ini memang menjadi persoalan yang
masih diperdebatkan. Sebagian ulama, termasuk di Aceh, masih menolak adanya
pembaharuan seperti yang tertera dalam KHI dengan alasan bahwa istilah
penggantian tempat ini tidak ditemukan secara tegas dalam ayat-ayat Al-Quran
dan hadist Nabi yang menerangkan tentang hukum faraidh (hukum kewarisan). Namun
demikian, mereka yang menerima keberadaan pembaruan penafsiran ini mendasarkan
pada bahwa Islam juga membawa nilai keadilan, ukhuwah, persamaan, menjunjung
tinggi anak yatim. Karena alasan inilah mereka menganggapnya sebagai suatu yang
penting untuk dipraktekkan di Indonesia. Meski demikian, sebut Syahrizal, walau
di dalam hukum adat di Aceh tidak dikenal dengan penggantian ahli waris, pada
prakteknya banyak juga ahli waris yang memberikan sedikit atau sebagian
hartanya untuk anakanak yatim yang ditinggalkan orangtuanya tadi. Patah Titi
atau Putoh Tutu Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk Daud
Zamzami, menerangkan bahwa tidakada alasan untuk memberi tafsiran lebih jauh
tentang penggantian kedudukan ahli waris jika memang tidak terdapat penjelasan
yang tegas didalam Al-Quran. Selain itu, dalam hukum adat di Aceh pun tidak
terdapat aturan adanya penggantian kedudukan ahli waris. Aceh memegang hukum
adat yang kental dengan hukum Islam. Dalam hukum adat di Aceh disebutkan bahwa
jika seorang anak meninggal dunia, putuslah hubungan kewarisan yang dimiliki
oleh orangtua si anak yang sudah meninggal tadi dengan keberadaan cucu (dalam
hal ini hubungan kewarisan kakek dan cucu). Hak waris seorang cucu ini akan terhalangi
oleh keberadaan saudara laki dan perempuan si anak yang meninggal. Istilah ini
menurut Tgk Daud Zamzami dikenal dengan istilah Patah Titi atau Putoh Tutu atau
Hijab. Di sini, sang ayah berlaku sebagai titi alias jembatan penghubung antara
kakek dan cucu. Ketika sang ayah meninggal, terputuslah hubungan (khususnya
hubungan penyebab kewarisan) antara kakek dan cucu. Kendati demikian, Islam
tetap memandang kemuliaan dan keadilan bagi cucu atau anak yatim yang telah
ditinggalkan oleh orangtuanya tadi, antara lain dengan memberikan atau
menyisihkan sedikit bagian dari harta warisan tersebut kepada sang anak yatim.
Selain itu, dalam aturan adat Aceh, sang kaum ulama yang menjadi saksi dalam
pembagian warisan tersebut pun akan mendapat sedikit bagian yang dikenal dengan
istilah hak raheung. Pemberian yang diberikan kepada anak yatim tersebut
(kepada cucu ) dan ulama ini bukanlah disebut warisan, tetapi hibah. Sejumlah
ulama di Aceh masih menganut ajaran
faraidh patah titi dengan berdasarkan
pada kitab-kitab fiqih klasik. Oleh karena itu, wajarlah jika ada persengketaan
perwarisan terkait dengan penggantian kedudukan ahli waris di Aceh yang sangat
jarang diselesaikan lewat jalur hukum formal di Mahkamah Syar’iyah.
Hingga saat ini masih dipraktekkan
sistem patah titi ini di Aceh. Penyelesaian kasus ini biasanya dilakukan secara
adat dan agama dengan mengumpulkan orangtua kampung, ulama dan kaum kerabat.
Dengan demikan nampak bahwa sedikit sekali yang menyelesaikannya di Pengadilan
Agama atau Mahkamah Syar’iyah. Pada kenyataannya, tidak sedikit anak yatim yang
kini diasuh oleh kakek dan neneknya karena orangtua mereka meninggal akibat
musibah gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004 lalu.
Terkait dengan penyelesaian sengketa
kewarisan, sepanjang tahun 2007 Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh telah
menangani 125 kasus kewarisan dan 292 kasus penetapan ahli waris (bukan
penetapan penggantian ahli waris). Namun demikan, dalam kasus yang berkaitan
dengan patah titi ini, dengan sendirinya Mahkamah Syar’iyah akan menerapkan
ketentuan Pasal 185 KHI, yaitu menghapus lembaga patah titi yang dikenal oleh
masyarakat Aceh yang sekaligus mengakui cucunya sebagai ahli waris pengganti
bagi ayahnya yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari pada kakek/ neneknya.
Penggantian ahli waris merupakan
suatu pembaharuan hukum Islam yang cukup besar di Indonesia. Jika aturan hukum
ini disosialisasikan dengan baik, pemahaman patah titi tidak lagi mencuat dalam
kehidupan masyarakat Aceh. Selain itu, pemahaman masyarakat akan kasus ini pun
masih sangat terbatas. Tgk. Daud Zamzami mengatakan bahwa masyarakat tidak
terlalu memahami aturan-aturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam dan juga
tidak terlalu memahami ajaran-ajaran yang ada dalam kitab fiqih. Masyarakat
hanya akan bertanya kepada guru-guru mereka, dalam hal ini ulama, jika mereka
mendapatkan kesulitan.
Hirtoris yang melatar belakangi
lahirnya pasal 185 KHI ini, yang tidak lain adalah adanya pemikiran, pembelaan
dan perhatian yang ditujukan kepada “ cucu” kalau keberadaannya bersama dengan
“ anak laki laki “, sebab menurut fiqih madzhab sunni , cucu dalam posisi yang
demikian, terhijab hirman ( tertutup total ) oleh anak laki laki. Semangat
pembelaan tersebut sejalan dengan keadaan yang berkembang di negara negara
Islam lain seperti Mesir dan Pakistan, bahkan bergulirnya masaalah tersebut
jauh lebih dahulu daripada apa yang dilakukan oleh ulama’ di Indonesia. Mesir,
misalnya, dalam memecahkan masalah “ cucu “ ini memeilih jalan dengan memberikan
porsi dari tirkah melalui lembaga “ wasiat wajibah “, sebagaimana tertuang
dalam Undang Undang Mesir Tahun 1946 M. Dalam salah satu pasalnya berbunyi :
Jadi
Mesir tetap memandang “cucu“ terhijab oleh anak laki laki kakek (Paman), lalu dicari
jalan keluarnya dengan cara diberi bagian dari tirkah melalui “wasiatwajibah“.
Sedang Pakistan sebagaimana tertuang dalam Undang undang Tahun 1961 memberi
porsi kepada “cucu“ dengan jalan “penggantian tempat“, yakni menempatkan cucu
kalau bersama dengan anak laki laki dapat menggantikan kedudukan orang tuanya
yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Ternyata dalam
memecahkan masalah cucu ini, Indonesia tidak mengikuti jejak Mesir dengan jalan
memberi hak bagian kepada cucu dari harta peninggalan / warisan melalui wasiat wajibah, tapi mengikuti
Pakistan dengan metode “penggantian tempat”, sebagaimana dituangkan dalam pasal 185
KHI. Sekiranya dalam masalah pemberian bagian warisan terhadap cucu ini, KHI
mengikuti jejak Mesir dengan jalan memberi hak bagian dari harta peninggalan
melalui wasiat wajibah, maka penyelesaiannya menjadi mudah, karena sudah
terlepas dari aturan dan ketentuan ketentuan hukum kewarisan Islam yang
berlaku, sehingga di sana tidak menghadapi persoalan persoalan yang kemungkinan
berbenturan dengan aturan dan ketentuan ketentuan dalam hukum kewarisan Islam
dimaksud. Kalau kita kembali pada hirtoris yang melatar belakangi lahirnya
pasal 185 KHI ini, serta semangat yang berkembang tentang upaya pemberian hak
bagian dari harta peninggalan pewaris kepada “cucu” di negara negara Islam yang
lain, maka kata kata pada pasal 185 ayat (1) yang berbunyi “ahli waris yang
meninggal lebih dahulu“ seharusnya ditafsirkan sebagai “anak“, sedang kata kata
pada ayat (2) yang berbunyi “ahli waris pengganti“ ditafsirkan sebagai “cucu“.
Hal ini perlu dilakukan, agar makna pasal tersebut tidak meluas yang dapat
berakibat tidak adanya kepastian. Di samping itu, bahwa dengan pembatasan
penafsiran yang demikian, tujuan hukum dari pasal 185 KHI itu juga tetap akan
tercapai, yaitu pembelaan mengenai nasib cucu kalau bersama dengan anak laki
laki, yang menurut fiqih sunni kedudukannya sebagai ahli waris terhijab hirman
oleh anak laki laki. Dengan adanya ketentuan pasal 185
KHI beserta pembatasan penafsiran
seperti itu, cucu tetap didudukkan sebagai ahli waris pengganti, sehingga
kedudukannya sebagai ahli waris tidak terhijab hirman lagi oleh anak laki laki,
sehingga cucu tetap mendapatkan hak bagian warisan dari harta peninggalan kakek
atau neneknya. Dan oleh karena itu, tujuan untuk membela dan memperjuangkan
nasib cucu ketika bersama anak laki laki sebagai ahli waris dapat tercapai,
seperti halnya di Pakistan dan di Mesir yang memberikan hak bagian warisan
kepada cucu melalui wasiat wajibah. Sedangkan untuk selain keahliwarisan cucu,
adalah bukan termasuk dalam konteks pasal 185 KHI, melainkan mereka menerima
hak warisan karena kedudukannya sendiri sebagai ahli waris , sebagaimana berlaku
pada ahli waris langsung.
Kedua macam cara pemecahan tersebut
adalah sama sama merupakan hasil ijtihad, karena tidak adanya nash dari Al
Qur’an maupun hadits yang secara eksplisit mendudukan cucu sebagai ahli waris
pengganti, atau dengan memberikan hak bagian warisan kepadanya melalui wasiat
wajibah, padahal kondisinya menuntut setiap pemikir hukum Islam untuk
membelanya. Undang undang Mesir yang memberikan hak bagian warisan kepada cucu melalui wasiat wajibah didasarkan pada
firman Allah surat Al Baqarah ayat 180.
180. diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.
Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat
itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu.
ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.
Sedangkan dasar pemikiran untuk
menempatkan cucu sebagai ahli waris pengganti adalah untuk memberikan payung
hukum kewarisan terhadapnya ketika dia bersama dengan anak laki laki, sehingga
yang semula menurut hukum kewarisan sunni, dia terhijab oleh anak laki, menjadi
tidak terhijab, karena menempati kedudukan ayah atau ibunya yang telah
meninggal dunia lebih dahulu daripada kakek atau neneknya. Menurut hukum
kewarisan sunni, misalnya pewaris yang meninggalkan ahli waris, seorang ibu,
suami (duda), anak laki laki, dan cucu laki laki dari anak perempuan atau dari
anak laki laki , maka pembagiannya ialah ibu mendapat 1/6 karena ada anak,
suami (duda) mendapat mendapat ¼ karena ada anak, lalu anak laki laki menjadi
ahli waris ashabah, sedang cucu perempuan dari anak laki laki atau dari anak
perempuan tidak mendapatkan bagian karena terhijab hirman oleh anak laki laki.
Dari contoh kasus tersebut, dengan melihat bilangan angka penyebut dari pecahan
hak bagian ahli waris dzawil furudh yang ada, maka bilangan angka terkecil yang
bisa dibagi oleh masing masing bilangan angka penyebutnya, yang akan dijadikan
patokan sebagai pokok masalah dalam membagi harta peninggalan ialah angka 12,
sehingga penyelesaiannya sebagai berikut :
Ibu mendapat 1/6 x 12 = 2/12
Suami atau duda mendapat ¼ x 12 =
3/12
Sisa untuk anak laki laki = 7/12
Jumlah =12/12
Cucu pr/ Laki laki dr.anak laki laki
= 0, karena terhijab hirman oleh anak laki
laki. Hal itu didasarkan pada hadits
Nabi saw yang berbunyi :
“Berikanlah bagian bagian harta
peninggalan itu kepada ahli waris yang berhak,
kemudian sisanya untuk laki laki yang paling dekat (hubungan nasabnya dengan pewaris)” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam memahami dan manafsirkan hadits
tersebut, ketika diterapkan dalam kasus cucu sebagai ahli waris bersama dengan
anak laki laki, maka anak laki laki dipahami sebagai ahli waris yang paling
dekat hubungannya dengan pewaris, sehingga anak laki laki merupakan ahli waris
yang disebut dalam kata kata.
Dan oleh karena itu, cucu sebagai
ahli waris menjadi terhijab oleh anak laki laki, baik cucu laki laki atau
perempuan, dan baik dia dari anak laki laki maupun dari anak perempuan. Pemahaman
terhadap hadits Nabi saw sebagaimana tersebut di atas, adalah sebatas merupakan
pemahaman sebagai hasil ijtihad seseorang, yang tidak menutup kemungkinan adanya
pemahaman lain yang berbeda. Dalam kasus anak laki laki sebagai ahli waris
bersama dengan saudara laki laki, menurut pemahaman terhadap hadits tersebut,
anak laki laki berkedudukan sebagai waris ashabah, yaitu mendapatkan sisa, yang
sekaligus menghijab hirman terhadap saudara laki laki. Maka, pemahaman seperti
itu adalah dapat diterima oleh rasa keadilan dan kemanusiaan, karena dari sisi
hubungan darah anak laki laki adalah lebih dekat hubungannya dengan pewaris daripada saudara laki laki,
dan oleh karena itu anak laki laki menghijab firman hak kewarisan saudara laki
laki. Akan tetapi, dalam contoh kasus yang pertama tersebut di atas, maka
pemahaman seperti itu masih perlu dipertanyakan, baik dari sisi rasa keadilan
maupun dari sisi rasa kemanusiaan.
Seorang
cucu adalah sosok yang sangat dekat hubungan nasabnya dengan pewaris (kakek dan
neneknya), terutama cucu yang telah ditinggal mati oleh ayah dan ibunya.
Terhadap cucu yang demikian itu, kakek maupun neneknya akan mencurahkan kasih
sayangnya, untuk menggantikan kasih sayang yang telah hilang dan tidak
diperolehnya kembali dari ayah atau ibunya yang telah meninggal dunia. Dengan
demikian, hadits tersebut tidak dapat diterapkan dalam kasus keahli warisan cucu
dalam kedudukan sebagai ahli waris bersama anak laki laki. Dan oleh karena itu,
cucu sebagai ahli waris, dalam pandangan Kompilasi Hukum Islam pasal 185, tidak
terhijab oleh anak laki laki, cucu tetap berhak mendapatkan warisan dari harta peninggalan
kakek dan neneknya. Hanya saja, sangat disayangkan, ternyata KHI sendiri tidak
menindak lanjutinya dengan pasal pasal yang merumuskan dan menjelaskan secara
tegas dan rinci mengenai besaran hak bagian warisan cucu sesuai dengan
posisinya saat dia menjadi ahli waris pengganti, KHI dengan pasal 85 ayat (2) hanya
menggariskan limitasi besaran bagian ahli waris pengganti dengan ketentuan yang
bersifat umum dan multi tafsir, sedang di dalam Al Qur’an maupun hadits juga tidak
ada nash sebagai ketentuan yang menjelaskan besaran hak bagian warisannya, baik
cucu laki laki maupun perempuan, dan baik dari anak laki laki maupun dari anak perempuan,
sebagai ahli waris bersama anak laki laki maupun bersama anak perempuan , maka
untuk itu diperlukan ijtihad.
Besarnya
hak bagian Ahli Waris Pengganti
penyelesaiannya,
ibu mendapat 1/6 karena ada anak, kemudian anak laki laki, anak perempuan, dan cucu laki laki
dari anak laki laki, berkedudukan sebagai waris
ashabah dengan ketentuan bagian anak laki laki dua kali bagian anak perempuan, dan bagian cucu laki laki dari
anak laki laki disamakan dengan hak bagian
anak perempuan. Sehingga untuk contoh kasus tersebut. Harus dicari bilangan Kelipatan Persekutuan yang Terkecil ( KPK
/ asal masalah ) yang bisa dibagi oleh penyebut
bilangan pecahan 1/6 untuk ibu, 2/4 untuk anak laki laki, dan ¼ untuk masing masing anak perempuan dan cucu laki
laki dari anak laki laki, yang kemudian digunakan
untuk membagi seluruh nilai harta peninggalan ialah angka 24, maka harta warisan senilai Rp.240 jt dibagi 24 = @
Rp.10jt. Karenanya , pembagiannya dapat
diselesaikan
sebagai berikut :
Ibu
mendapat 1/6 x24 ** = 4 x @ Rp.10 jt = Rp. 40 jt.
Sisa
= 20** x @ Rp 10 jt = Rp.200 jt **
Untuk
anak laki laki2/4 x 20** = 10 x @ Rp.10 jt = Rp.100 jt
Anak
perempuan ¼ x 20** = 5 x @ Rp.10 jt = Rp. 50 jt
Cucu
laki laki ¼ x 2 0** = 5 x @ Rp.10 jt = Rp. 50 jt
Jumlah
= 20** x @ Rp.10 jt = Rp.200 jt **
Contoh
lain, seorang pewaris meninggalkan ahli waris, Ibu,Bapak, cucu perempuan dari anak laki laki maupun dari anak
perempuan dan seorang anak perempuan. Maka berdasarkan
ketentuan hukum kewarisan Islam dan pemahaman terhadap ketentuan pasal 185 ayat (2) KHI sebagaimana
tersebut di atas, cucu dan anak perempuan mendapat
2/3, ibu mendapat 1/6 ( karena ada anak ) , dan Bapak bisa menjadi ahli waris ashabah, mendapat sisa, karena tidak
ada ahli waris laki laki yang menjadi ahli waris
ashabah, dan bisa pula Bapak berkedudukan sebagai ahli waris dzawil furudh yang besaran hak bagiannya 1/6 ( karena
ada anak ), sehingga penyelesaiannya dengan
menjadikan pokok masalah 6 :
Ibu
mendapat 1/6 x 6 = 1/6
Cucu
dan anak perempuan mendapat 2/3 x 6 = 4/6
(
@ = 2 x 2 = 4 )
Ayah
mendapat sisa = 1/6
Jumlah
= 6/6
Atau
ibu mendapat 1/6 x 6 = 1/6
Ayah
mendapat 1/6 x 6 = 1/6
Cucu
dan anak perempuan mendapat 2/3 x 6 = 4/6
(
@ = 2 x 2 = 4 )
Jumlah
= 6/6
PENUTUP
KESIMPULAN
Anak-anak dari lelaki (para cucu dari lelaki)
memperoleh `ushubah (mengambil semua sisa) jika si pewaris tidak mempunyai anak
dan tidak ada ahli waris yang lain. Jika ia bersama dengan cucu lelaki dari
lelaki lain maka ia berbagi sama dan jika bersama dengan cucu perempuan dari
lelaki, maka cucu lelaki dari lelaki memperoleh dua bagian (2:1). Sedangkan
cucu perempuan dari lelaki memperoleh bagian separoh (½) bila ia hanya
sendirian dan 2/3 bila ia dua orang atau lebih. Jika ia bersama dengan cucu
lelaki dari lelaki maka ia memperoleh bagian separoh dari saudaranya lelaki
(cucu dari lelaki). Ini merupakan dialektis atas pemahaman terhadap anak lelaki
dan anak perempuan pewaris dengan metode berfikir qiyās (analogi).
Mereka juga memperkuat pendapat tersebut dengan dasar pendapat Ibn Mas`ūd (sahabat
Rasul Allah s.a.w) yang mengatakan bahwa Nabi saw memahamkan demikian, sbb :
Huzail Ibnu Surajil berkata, ditanyai Abu Musa tentang anak perempuan, cucu
perempuan dari lelaki dan saudara perempuan kandung maka Abu Musa berkata bahwa
anak perempuan memperoleh separoh (1/2) dan saudara perempuan separohnya (1/2).
Lalu aku datang kepada Ibnu Mas`ud ra maka ditanyakan kepadanya, lalu Ibnu
Mas`ud ra mengabarkan perkataan Abu Musa ra berkata, sungguh aku sesat jika
tidak termasuk orang yang diberi petunjuk, aku memutus dengan apa yang diputus
oleh nabi saw yaitu anak perempuan separoh (1/2), cucu perempuan dari lelaki
seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua pertiga sdan sisanya untuk saudara
perempuan. Maka aku datang kepada Abu Musa ra dan aku kabarkan perkataan Ibnu
Mas`ud maka Abu Musa berkata, aku tidak pernah ditanyai tentang itu selama ini.
H.R. Bukhari
Selanjutnya tentang cucu
lelaki atau perempuan dari perempuan, mereka dianggap tidak berhak atas waris
bila masih ada far`u waris berupa ashab al-furūd
(orang-orang yang telah ditentukan bagiannya) dan `asabah (orang
yang menghabisi sisa). Mereka digolongkan termasuk sebagai żū
al-arham yakni golongan yang bukan ashab al- furūd dan as}abah.
Alasan umum pendapat mereka adalah bahwa para cucu perempuan dari perempuan tidak dibicarakan dalam
teks-teks al-Qur'an. Kelompok ini disponsori oleh mayoritas jumhur ulama dalam
mażhab Sunni (terutama Imam empat mażhab).
Pegrantian
Ahli waris di Indonesia terrcantum dalam Pasal 185 KHI yang
bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:
1.
Ahli waris yang
meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. (Pasal 173
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: a. dipersalahkan
telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; b.
dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.)
2. Bagian
ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajad
dengan yang diganti.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazaly, Abr. Rahman. 1996. Materi Pokok Fiqih II Buku II Modul 7-12. Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Habiburrahman.
2011. Rekonstruksi
Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, disertasi tidak diterbitkan.
Bandung : IAIN Sunan Gunung Djati
Latif, Abd. Rachman A. 2008.
Sistem Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia. Dalam Vidya
16, 1
Sarmadi, Akhmad
Sukris. Ahli Waris Pengganti Pasal 185
Khi Dalam Perspektif Maqāsid Al-Syari’ah . IAIN
Antasari Banjarmasin
Qohar,
Adnan. Besarnya Hak Bagian Ahli Waris
Pengganti
Wahyudi, Muhamad Isna.Keadilan Konsep Ahli Waris Pengganti
Zubair, Asni dan Lebba. 2009. Pergantian
Ahli Waris Menurut Tinjauan Hukum Islam. Dalam Asy-syir’ah,
42, 2
By : RISMA RAHMAWATI dan SURIYANTI NASUTION (TAFSIR HADIS AHKAM I)
الحمدلله
ReplyDelete