Friday, February 24, 2017

الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ “Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi”

Note “Apabila ada kesalahan dalam penulisan Arab mohon maaf dan bisa membantu saya memperbaiki dengan memberikan komentar”.



TUGAS QAWA’ID FIQHIYYAH
الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ
“Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi”


KATA PENGANTAR
            Puji dan Syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah qawa’id fiqhiyyah ini.Adapun maksud dan tujuan penulis disini untuk menyajikan beberapa hal yang menjadi materi dari makalah penulis.
Makalah ini membahas mengenaiالْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ“Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi.”Makalah ini juga menggunakan bahasa yang mudah dimengerti untuk para pembacanya.Penulis menyadari bahwa didalam makalah penulis ini masih banyak kekurangan ,penulis mengharapkan kritik dan saran demi menyempurnakan makalah penulis agar lebih baik dan dapat berguna semaksimal mungkin.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan dan penyempurnaan makalah ini.
Yogyakarta ,Mei 2013
Hormat Penulis
BAB I PENDAHULUAN
Qawa’id fiqhiyyah (kaidah fikih) adalah salah satu metode pengambilan hukum yang di rancang sebagai landasan filosofi dari semua rumusan hukum yang di lakukan para ulama’di manapun mereka berada, sehinga setiap ulama’ yang menguasai dan mendalami kaidah-kaidah fiqh akan mendapati kemudahan di dalam menjalani ketentuan-ketentuan yang di tetapkan Alloh di muka bumi ini serta mampu memberikan solusi dan inovasi-inivasi baru bagi masyarakat dalam menjawab setiap perubahan dan tantangan yang ada.
Lantas sudahkah ulama’-ulama’ kita serta para santri -sebagai penerus para ulama’- secara intens mendalami ilmu ini?Kalau jawapanya “ya” lantas mengapa keadaan masyarakat kita masih seperti ini.Penulis pikir pertanyaan ini tidaklah penting untuk dijawab, karena dengan melihat kondisi masyarakat indonesia saat ini kita bisa menyimpulkan sendiri jawabanya, akan tetapi yang sangat diperlukan saat ini adalah adanya tindakan konkrit bagi para ulama’ serta kita sebagai santri sebagai penangung jawab dari kontrol moral masyarakat, untuk melakukan sebuah gerakan bermazdhab secara manhaji. Salah satu langkah awal dari keseriusan kita dalam permasalahan ini adalah dengan mendalami kaidah fiqh
Sebagai tindak lanjut, penulis akan sedikit memaparkan beberapa kaidah yang sangat penting untuk di fahami. Karena kaidah ini membahas tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan ritual keagamaan dan interaksi sosial kemasyarakatan.Kaidah-kaidah tersebut adalah الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبّ.
Banyak kalangan ulama yang mengakui bahwa kaidah ini tergolong kaidah yang sulit kajiannya. Sebagian ulama ada yang mempertanyakan substansi keutamaan kaidah; apakah memang ada nash yang secara specific menerangkan keutamaan menghindari khilaf. Kejanggalan yang mengemuka ini akhirnya mendapat jawaban dari ibn-al Subuki, yang mengatakan bahwa meski tidak diketemukan nash yang secara tegas menyinggung kesunahan atau keutamaan menghindari khilaf ulam, namun keutamaan menghindari ulama ini, pada dasarnya telah tercakup dalam substansi nash yang substansinya berupa pembebasan diri dari silang pendapat ulama yang bersinggungan dengan masalah keagamaan. Masih dalam pandangan Ibn-al Subki, tindakan menghindari khilaf ulama dengan cara mengakomodasikannya ini termasuk tindakan wira’I yang diperintahkan agama.

BAB II PEMBAHASAN
Kaidah (الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ ")
Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi
1.1.         Uraian Kaidah
Kaidah ini memotivasi umat islam agar selalu menjaga persatuan dan mencari solusi dari setiap perbedaan yang ada, walaupun sebenarnya perbedaan itu adalah sunnatulloh. Kaidah ini juga menekankan kepada kita agar selalu berhati-hati dalam menyikapi segala perbedaan yang ada. Pengertian khilaf (perbedaan) adalah ketidaksamaan dalam memahami sesuatu, tetapi masih mengacu pada satu pokok, sebagaimana perbedaan dikalangan pemikir islam.
Berbeda dengan pengertian tanaqudh (pertentangan), yaitu ketidaksamaan pendapat terhadap isi pokok dari suatu permasalahan serta unsur-unsur yang melingkupinya, sebagaimana perbedaan prinsipil antara orang-orang muslim dan non muslim.
1.2.     Dasar Kaidah
Dalam kehidupan bersama sering terjadi perbedaan pendapat.Perbedaan pendapat ini penting dalam memberi alternatif pemecahan masalah.Tetapi, berupaya untuk mencari jalan agar dapat diperoleh kesepakatan adalah disenangi yang awalnya terjadi perbedaan pendapat. Hal ini tidak lain adalah agar kehidupan masyarakat menjadi tenang kembali.
Kaidah ini berdasarkan Sabda Nabi saw “Maka barang siapa menjaga diri dari syubhat (seperti perbedaan pendapat misalnya), maka ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya” (Muttafaq alaih)

Sesuai dengan pernyataan Imam suyuty bahwa landasan kaidah ini dipetik dari penggalan al-Quran dalam surat al-hujurat ayat :12 yang berbunyi sebagaimana berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“ wahai orang-orang yang beriman jauhilah prasangka-prasangka, karena sebagian dari prasangka adalah (menyebabkan) dosa”.(al hujarat 11)
Secara tersirat dalam ayat diatas Allah swt. Menginformasikan manusia untuk bertindak ekstra hati-hati, dengan senantiasa menjauhi perbuatan yang nyata-nyat positif (tidak berdosa) demi mengantisipasi kemungkinan berbuat dosa. Sikap hati-hati ini coba ditawarkan demi kebaikan manusia, dari pada harus berspekulasi melakukan perbuatan yang ada kemungkinan salah (dosa). Metode yang dijajakan para ulama adalah kehati-hatian  (ihtiyath) dengan mengandaikan sesuatu yang kenyataannya tidak ada seperti sesuatu yang betul-betul wujud. Seperti halnya berprasangkan yang bisa meenimbulkan dosa harus dihindari agar betul-betul bisa dijauhi, karena prasangka potensial menimbulkan dosa.
Dan hadis nabi yang berbunyi:
قَالَ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ( حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ)
Dari pemahaman Hadist yang diriwayatkan dari cucu nabi di atas kita bisa menyadari bahwa dalam diri manusia, sebenarnya memiliki potensi untuk mengetahui atau merasakan hal-hal baik atau buruk.Serta kita diperintahkan untuk mengunakan argumentasi yang meyakinkan dalam setiap keputusan dan tindakan. Sebagaimana kaidah di atas
1.3.         Syarat-Syarat Aplikasinya
Contoh kongkrit dari kaidah ini adalah di sunahkan membasuh seluruh rambut kepala saat wudhu’, agar terbebas dari perbedaan pendapat dengan maliki dan hanafi yang mewajibkan tidak hanya sebagian dari rambut kepala, tetapi separo atau keseluruhan.
Dalam mengunakan kaidah di atas ulama’ memberikan beberapa ketentuan, sejauh manakah perbedaan itu bisa dikompromikan agar dalam implementasinya tidak menyebabkan kebimbangan dan kerancuan.
1.4.            Adapun syarat-syaratnya adalah:
  1. Pendapat yang lain tidak bisa dipertahankan keabsahanya. Contoh: melakukan sholat witir tiga rokaat, apakah dengan satu kali salam atau dua kali. Dalam permasalahan ini pendapat yang mengatakan satu kali salam tidak bisa dipertahankan, karena sudah jelas bahwa pendapat abu hanifah tentang satu kali salam bertentangan dengan Hadist nabi yang berbunyi:
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْفَارِسِىُّ حَدَّثَنَا مِقْدَامُ بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ يَزِيدَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلاَلٍ عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ وَعَنِ الأَعْرَجِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تُوتِرُوا بِثَلاَثٍ وَأَوْتِرُوا بِخَمْسٍ أَوْ سَبْعٍ وَلاَ تُشَبِّهُوا بِصَلاَةِ الْمَغْرِبِ ».
عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِى حَازِمٍ قَالَ رَأَيْتُ سَعْدًا صَلَّى بَعْدَ الْعِشَاءِ رَكْعَةً فَقُلْتُ مَا هَذِهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِرَكْعَةٍ.
  1.  Perbedaan pendapat tidak berbenturan dengan Hadist yang shohih atau hasan. Contoh: seperti dalam masalah Imam Hanafi yang melarang mengangkat tangan saat sholat, karena bisa membatalkan sholat. Pendapat ini bertentangan dengan hadis mutawatir dan shohih yang berbunyi:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ كُلُّهُمْ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ مَنْكِبَيْهِ وَقَبْلَ أَنْ يَرْكَعَ وَإِذَا رَفَعَ مِنْ الرُّكُوعِ وَلَا يَرْفَعُهُمَا بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ[18]
“aku melihat Nabi,S.A.W ketika memulai sholat mengangkat kedua tangan sama dengan pundaknya, serta sebelum ruku’ dan saat berdiri dari ruku’ (juga) dan beliau tidak mengangkatnya ketika di antara dua sujud.[19]
  1. Dalil yang di gunakan untuk bisa dikomparasikan harus memeiliki dalil yang sama-sama kuat. Sebagaimana contoh kasus wudhu’ di atas.
1.5.            Contoh Kaidah
Contoh kongkrit dari kaidah ini sebagai berikut :
  1. Wudhu
Di sunahkan membasuh seluruh rambut kepala saat wudhu’, agar terbebas dari perbedaan pendapat dengan maliki dan hanafi yang mewajibkan tidak hanya sebagian dari rambut kepala, tetapi separo atau keseluruhan.
  1. Tentang fenomena shalat Ied jatuh hari Jumaat, apakah wajib solat jumat ketika ia sudah melakukan solat ied?
menurut pendapat Syafi'i tetap wajib. ini dikarenakan ayat yang memerintahnya dan hadis yang menunjukkan wajibnya adalah bersifat umum. Ini juga merupakan pendapat Maliki dan Hanafi.Sedangkan menurut Hanbali, ketika sudah melakukan solat Ied, maka tidak wajib melakukan solat Jumat bagi makmum.pada kaidah fiqh yang masyhur "الخروج من الخلاف مستحب" yaitu keluar dari perkhilafan adalah sunnat. dengan pegang pada kaidah ini, maka mereka dari golongan Hanabilah atau yang sama dengannya akan berkata, disunatkan solat Jumat, karena keluar dari perkhilafan bagi orang yang mewajibkannya. ini sama seperti yang dilakukan dalam mazhab yang lain terutama Syafi'i. dalam kitab fath al-Muin misalnya, disunatkan membasuh seluruh kepala sebagai keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya. ini dikarenakan mazhab Hanafi misalnya mewajibkan membasuh seluruh kepala. sedangkan mazhab Syafi'i hanya sebagian kepala.

  1. Cara Pelaksanaan Qishâsh Menurut Mazhab Syafi’i dan Maliki
Menurut pendapat yang lain dari kalangan Syâfi’iyyahqishâsh dalam hal ini dialihkan dengan cara pancung. Pendapat ini adalah yang dibenarkan oleh Imam Bulqînî dan lainnya, serta ini adalah pendapat yang muktamad. Ini dikarenakan teknik mutslah itu bisa berhasil akan tetapi kemungkinan akan melambatkan keluarnya ruh. Maka dari itu wajib dalam keterlambatan tersebut diqishâshdengan cara yang paling mudah.
Seumpama walî al-qatîl (ahli waris) menginginkan untuk memindah qishâsh dengan cara pancung dengan pedang, maka diperkenankan melakukan perkara tersebut. Malah ini adalah yang lebih utama berdasarkan kaidah “الخروج من الخلاف مستحب” (keluar dari khilâf adalah sunnah).
  1. Untuk menentukan hukum menghadiri undangan walimah non muslim ini, Salah satu bentuk sikap baik tentu dengan menghadiri undangan resepsi pernikahannya. Dengan hadir berarti kita sudah menghargai undangan mereka dan mereka akan merasa senang dengan kehadiran kita, dan hal ini akan mempererat tali silaturrahmi.
Namun timbul persoalan, yaitu kadang-kadang makanan mereka merupakan sesuatu yang haram atau najis. Mengingat ada sebagian barang haram yang jadi menu makanan mereka, atau proses pembersihannya tidak memenuhi syarat, sehingga dimungkinkan makanan itu bisa najis. Orang Islam pun terkadang merasa jijik dengan makanan mereka. Selain itu, harta mereka dimungkinkan berasal dari sesuatu yang haram, sebab tasharruf (transakasi) mereka itu bisa fasid (rusak, tidak sah), semisal didapat dari menjual minuman keras. Karena alasan seperti inilah jumhur bependapat tidak wajib mendatangi undangan resepsi dari non muslim.
Sekarang ada dua hal yang bertolak belakang, satu sisi ada keharusan untuk menghadiri undangan resepsi, di sisi lain ada beberapa hal yang menghalangi hal itu. Untuk mengatakan wajib khawatir haram dengan beberapa alasan yang disebutkan di atas, sedangkan untuk mengatakan haram khawatir hal itu wajib, dengan beberapa alasan yang telah disebutkan juga.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, kita bisa mengambil jalan tengah, yakni bahwa menghadiri resepsi non muslim hukumnya sunnah. Dengan begini kita sudah mengamalkan kedua pendapat ulama yang mengatakan wajib menghadiri dan yang tidak, tanpa mengabaikan salah satunya. Ini selaras dengan kaidah,
الخُرُوْجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ
"Keluar dari perbedaan itu lebih disenangi". 
Hukum sunnah ini juga dilontarkan sebagian ulama. Hanya saja mereka menambahkan bahwa kesunnahannya itu tidak sama nilainya dengan kesunnahan menghadiri undangan orang muslim, yang oleh sebagian ulama memang diputuskan sebagai kesunnahan. Ada juga yang berpendapat bahwa kesunnahan itu berlaku hanya ketika si dzimmymerupakan kerabat, tetangga, atau bisa diharapkan untuk masuk Islam.
Sedangkan mengenai makanan dan harta si pengundang juga kita tidak perlu terlalu dipermasalahkan, dengan catatan kita tidak tahu bahwa itu haram atau najis maka kita bisa memakannya. Toh, harta orang Islam pun juga bisa dimungkinkan diperoleh melalui jalan haram, padahal kita tidak mempermasalahkannya. Terlebih, memakan sesuatu yang dihidangkan juga bukan keharusan, para ulama hanya menghukumi sunnah. Kalau memang mau sangat berhati-hati tidak perlu memakan makanan yang dihidangkan.
Menurut sebuah riwayat dari Imam Ahmad yang berasal dari shahabat Anas,  menyebutkan bahwa Nabi pernah diundang oleh orang Yahudi untuk makan roti yang terbuat dari gandum dan Nabi pun menghadiri undangan tersebut. Tapi tidak dijelaskan apakah Nabi memakan roti yang dihidangkan atau tidak.Hadits ini juga lebih memperjelas bahwa permasalahan makanan ini tidak menjadi penyebab seseorang mengurungkan niatnya untuk menghadiri resepsi pernikahan dzimmy.
1.6.            Kaidah Yang Berkaitan
1.Kaidah ( الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ ) “disunahkan keluar dari perbedaan”
2. Kaidah (ما ثبت على خلاف القياس لا يقاس عليه) “Segala ketentuan hukum yang yang tidak sesuai dengan qiyas maka tidak boleh untuk mengunakan qiyas”
3. Kaidah (لا حجة مع الإحتمال) “tidak diterima argumentasi yang bias”
4. Kaidah (دليل الشيء في الأمور الباطنة يقوم مقامه) “petunjuk atas hal-hal yang samar adalah sebagaimana adanya”


BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Kaidah (الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ ")
Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi
Dasar Kaidah
Kaidah ini berdasarkan Sabda Nabi saw “Maka barang siapa menjaga diri dari syubhat (seperti perbedaan pendapat misalnya), maka ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya” (Muttafaq alaih)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“ wahai orang-orang yang beriman jauhilah prasangka-prasangka, karena sebagian dari prasangka adalah (menyebabkan) dosa”.(al hujarat 11)

Adapun syarat-syaratnya adalah:
Pendapat yang lain tidak bisa dipertahankan keabsahanya.
Perbedaan pendapat tidak berbenturan dengan Hadist yang shohih atau hasan.
Dalil yang di gunakan untuk bisa dikomparasikan harus memeiliki dalil yang sama-sama kuat.
Contoh Kaidah
  1. Wudhu
Di sunahkan membasuh seluruh rambut kepala saat wudhu’, agar terbebas dari perbedaan pendapat dengan maliki dan hanafi yang mewajibkan tidak hanya sebagian dari rambut kepala, tetapi separo atau keseluruhan.


BAB IV DAFTAR PUSTAKA
Djazuli .A, Kaidah-Kaidah Fikih Islam (kaidah-kaidah hukum islam dalam menyelesaikan maslah-masalah yang praktis), Jakarta: Kencana, 2007;
Musbikin Imam, Qawa’id Al-Fikihiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001


By : Suriyanti Nasution

No comments:

Post a Comment