Untuk para pembaca, jika ada kesalahan penulisan arabnya mohon dibantu mengkoreksi sebab kadang kala antara penulisan asli dengan komputer berbeda. Terima Kasih dan Harap Kemaklumannya jika ada yang salah.
Kali ini saya akan mengupload hasil dari pembelajaran saya saat kuliah dan diskusi dengan beberapa orang lainnya, mengenai sebuah pertanyaan yang selalu di lontarkan oleh umat muslim untuk mencari kebenarannya, namun semua tergantung bagaimana kalian memahaminya.
Dalam melaksanakan ibadah sehari-hari terdapat pula beberapa macam ibadah yang hukumnya sunat, baik berupa solat sunat maupun gerakan yang dianggap sunnah. Akan tetapi, hal ini masih banyak diperselisihkan oleh para ulama dan fiqih fuqaha. Salah satu gerakan yang dianggap sunnah dan masih diperselisihkan yaitu qunut.
Secara bahasa qunut berarti taat, berdiri lama, shalat, berdoa, tenang/diam dan khusyu’. Sedangkan secara istilah, qunut adalah berdiri lama dalam solat untuk membaca ayat atau berdoa dengan tenang khusyu’, baik sebelum ruku’ maupun setelah ruku’ terakhir. Namun demikian, dalam memahami makna qunut ini sendiri masih sering terdapat perbedaan. Salah satunya dalam masyarakat, makna qunut secara umum yaitu hanyalah berdiri sementara untuk berdoa sesudah ruku’.
Banyak hadits yang pada intinya menyatakan bahwa Qunut Shubuh merupakan bid`ah, tetapi tidak sedikit juga hadits yang justru menunjukkan bahwa Qunut Shubuh dilakukan oleh Rasulullah dan Khulafa`u Rasyidin. Kontradiksi ini berimbas pada perselisihan para mujtahid dalam menghukumi Qunut Shubuh, Imam Syafi`i dan Imam Malik menganggap Qunut Shubuh sebagai sunnah berbeda dengan Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hanbal yang menyatakan Qunut Subuh tidak disunahkan. Masalah ijtihadiyah semacam ini tidak pernah dipermasalahkan secara serius oleh para ulama salaf dan khalaf, Imam Sufyan Ats Tsauri yang berpendapat untuk tidak melakukan qunut pernah berkata :
إِنْ قَنَتَ فِى الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ.
Jika melakukan qunut maka itu baik dan jika meninggalkannya itu juga baik. (HR Turmudzi)
Tetapi sayang sikap saling menghargai perbedaan furu`iyah ini mulai hilang, sebagian kelompok dengan gigih memperuncing masalah ini dan menyatakan bahwa Qunut Subuh merupakan bid`ah yang pelakunya dapat dikatakan sebagai ahlul bid`ah, mereka tidak sadar bahwa dengan perkataanya ini berarti merekatelah menuduh Imam sekaliImam Syafi`i dan Imam Malik sebagai ahlul bid`ah. Dengan adanya berbeda pendapat tersebut terjadilah kontroversi mengenai qunut, disini kami akan menjelasakan yang menjadi kontroversi dan penjelasan yang mana yang baik.
Tetapi sayang sikap saling menghargai perbedaan furu`iyah ini mulai hilang, sebagian kelompok dengan gigih memperuncing masalah ini dan menyatakan bahwa Qunut Subuh merupakan bid`ah yang pelakunya dapat dikatakan sebagai ahlul bid`ah, mereka tidak sadar bahwa dengan perkataanya ini berarti merekatelah menuduh Imam sekaliImam Syafi`i dan Imam Malik sebagai ahlul bid`ah. Dengan adanya berbeda pendapat tersebut terjadilah kontroversi mengenai qunut, disini kami akan menjelasakan yang menjadi kontroversi dan penjelasan yang mana yang baik.
- QUNUT SHALAT SUBHU
Agar kita tidak terjerumus pada prasangka seperti ini, mari kita perhatikan jawaban para ulama mengenai hadits-hadits yang menyiratkan larangan untuk melakukan qunut shubuh.
Hadits pertama :
Sahabat Anas ra berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو على أَحْيَاءٍ من أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ
Sesungguhnya Rasulullah saw pernah melakukan qunut selama satu bulan, beliau mendoakan keburukan bagi suatu kaumarab,kemudian beliau meninggalkannya (HR Bukhari-Muslim)
Mengenai sebab yang mendorong Rasulullah mendoakan keburukan bagi kaum tersebut bisa kita ketahui dari hadits lain, diceritakan bahwa mereka telah membunuh tujuh puluh sahabat Rasulullah, hal ini membuat Beliausangat marah sebab sahabat yang dibunuh merupakan para penghapal qur`an, sehingga beliau melaknat mereka selama satu bulan sampai Allah melarangnya dan Rasulullah saw akhirnya berhenti mendoakan keburukan bagi mereka. Sahabat Ibnu Umar berkata :
Ia mendengar Rasulullah saw ketika mengangkat kepalanyadari ruku terakhir dalam Shalat Shubuh berdoa “Wahai tuhan kami bagimu segala puji” kemudian berkata “ Wahai tuhan laknatlah fulan dan fulan “, maka Allah Azza wa Jalla menurunkan “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka ituatau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim (QS Ali Imran : 128)” (HR Bukhari)
Dari sini menjadi Jelas bahwa yang dilarang bukan qunut secara keseluruhan akan tetapi adalah mendoakan jelek pada orang-orang tertentu di dalam qunut. Jadi yang dimaksud dengan perkataan sahabat Anas ثُمَّ تَرَكَهُ(kemudian Rasulullah meninggalkannya) adalah meninggalkan doa buruk pada mereka, bukan meninggalkan qunut secara keseluruhan.
karena Qunut Shubuh masih dilakukan oleh Rasulullah sampai akhir hayatnya.
karena Qunut Shubuh masih dilakukan oleh Rasulullah sampai akhir hayatnya.
Makna ini semakin jelas jika kita melihat redaksi hadits riwayat sahabat Anas yang lain :
Sesungguhnya Nabi saw melakukan qunut dan mendoakan keburukan bagi mereka kemudian meninggalkannya sedangkan qunut shubuh, maka nabi selalu malakukannya sampai meninggal dunia.(HR Ahmad, Baihaqi, Daruqutni) . Hadits ini telah dishahihkan oleh para hafidz diantaranya Al Hafidz Abu Abdillah Muhammad Al Balkhi, Al Hakim, Al Baihaqi, dan Ad Daruqutni. di dalam sanad riwayat terdapat Abu Ja`far Ar Razi yang telah ditsiqohkan lebih dari seorang Hafidz, Ibnu Jauzi menyelisihi mereka dengan mendhaifkanya, tetapi hal ini tidak diterima karena hanya ia saja yang berkata demikian.
Sesungguhnya Nabi saw melakukan qunut dan mendoakan keburukan bagi mereka kemudian meninggalkannya sedangkan qunut shubuh, maka nabi selalu malakukannya sampai meninggal dunia.(HR Ahmad, Baihaqi, Daruqutni) . Hadits ini telah dishahihkan oleh para hafidz diantaranya Al Hafidz Abu Abdillah Muhammad Al Balkhi, Al Hakim, Al Baihaqi, dan Ad Daruqutni. di dalam sanad riwayat terdapat Abu Ja`far Ar Razi yang telah ditsiqohkan lebih dari seorang Hafidz, Ibnu Jauzi menyelisihi mereka dengan mendhaifkanya, tetapi hal ini tidak diterima karena hanya ia saja yang berkata demikian.
Hadits kedua
Sa’ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja’i berkata :“Aku bertanya kepada ayahku, “Wahai ayah, engkau pernah sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum, di sini dan di Kufah sekitar 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada Sholat Subuh ?”. Maka dia menjawab : “Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid’ah)“.(HR Turmudzi, Ibnu Majah, dll)
Hadits ini termasuk hadits shohih tetapi hadits yang menjelaskan mengenai adanya Qunut Shubuh di zaman Rasulullah saw, dan para sahabat lebih banyak seperti hadits : Dari Awwam bin Hamzah berkata, “Aku bertanya pada Aba Utsman mengenai qunut dalam subuh, maka ia berkata “setelah rukuk”, dari siapa ? ‘ dari Abu Bakar, Umar, dan Utsman ra “(HR Baihaqi, sanad hadits ini Hasan )
Hadits ini termasuk hadits shohih tetapi hadits yang menjelaskan mengenai adanya Qunut Shubuh di zaman Rasulullah saw, dan para sahabat lebih banyak seperti hadits : Dari Awwam bin Hamzah berkata, “Aku bertanya pada Aba Utsman mengenai qunut dalam subuh, maka ia berkata “setelah rukuk”, dari siapa ? ‘ dari Abu Bakar, Umar, dan Utsman ra “(HR Baihaqi, sanad hadits ini Hasan )
Sedangkan mengenai Sayidina Ali terdapat hadits : Ali ra melakukan qunut di waktu fajar. (HR Baihaqi, Beliau berkata, hal ini shohih dari Ali dan masyhur)
Sahabat Barra` berkata :“Sesungguhnya Rasulullah saw melakukan qunut di shalat subuh dan magrib” (HR Muslim). Di dalam riwayat Abu Dawud hanya disebutkan Subuh saja tanpa Magrib, penyebutan Magrib disini tidak berpengaruh meski tidak ada yang melakukannya di waktu ini karena qunut bukanlah hal wajib atau telah terjadi ijma mengenai dihapusnya Qunut Maghrib.
Sahabat Barra` berkata :“Sesungguhnya Rasulullah saw melakukan qunut di shalat subuh dan magrib” (HR Muslim). Di dalam riwayat Abu Dawud hanya disebutkan Subuh saja tanpa Magrib, penyebutan Magrib disini tidak berpengaruh meski tidak ada yang melakukannya di waktu ini karena qunut bukanlah hal wajib atau telah terjadi ijma mengenai dihapusnya Qunut Maghrib.
Jadi, meskipun terdapat hadits shohih yang menyatakan bid`ahnya Qunut Subuh tetapi riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah dan Khulafa`u Rasyidin pernah melakukan qunut lebih banyak dan shahih, atas dasar inilah ulama Syafiiyah menyatakannya sebagai sunnah.
Hadits ketiga
Dari Ibnu Mas`ud :
ما قنت رسول الله صلى الله عليه وسلّم في شيء من صلاته
“Rasulullah tidak melakukan qunut dalam satupun shalatnya “ (HR Baihaqi)
Salah satu periwayat hadits ini adalah Muhammad bin Jabir Assuhaimi statusnya dalam meriwayatkan hadits adalah sangat lemah serta matruk. Maka hadits ini adalah dhaifdan hadits dhaif tidak dapat dijadikan landasan hukum.
Hadits keempat
Abu Mukhalid berkata :
Aku Shalat Shubuh bersama Ibnu Umar ra, dan ia tidak melakukan qunut, aku bertanya padanya ,”kenapa aku tidak melihatmu melakukan qunut ?”, Maka ia berkata “Aku tidak menghafal hal ini (dilakukan) seorangpun dari pada sahabat kami” (HR Baihaqi)
Kelupaan atau ketidak-tahuan sebagian sahabat atas suatu sunnah tidak bisa dijadikan alasan untuk meniadakan sunnah tersebut, apalagi jika terdapat sahabat lain yang menetapkan hal tersebut sebagai sunnah.mSahabat Ibnu umar mengatakan ia tidak mengetahui bahwa qunut dilakukan sahabat nabi, sedangkan Anas, Bara dan lainya menyatakan qunut dilakukan oleh para sahabat, maka ucapan yang mengetahui didahulukan daripada yang tidak mengetahui.
Aku Shalat Shubuh bersama Ibnu Umar ra, dan ia tidak melakukan qunut, aku bertanya padanya ,”kenapa aku tidak melihatmu melakukan qunut ?”, Maka ia berkata “Aku tidak menghafal hal ini (dilakukan) seorangpun dari pada sahabat kami” (HR Baihaqi)
Kelupaan atau ketidak-tahuan sebagian sahabat atas suatu sunnah tidak bisa dijadikan alasan untuk meniadakan sunnah tersebut, apalagi jika terdapat sahabat lain yang menetapkan hal tersebut sebagai sunnah.mSahabat Ibnu umar mengatakan ia tidak mengetahui bahwa qunut dilakukan sahabat nabi, sedangkan Anas, Bara dan lainya menyatakan qunut dilakukan oleh para sahabat, maka ucapan yang mengetahui didahulukan daripada yang tidak mengetahui.
Hadits kelima
Dari ibnu abbas
Dari ibnu abbas
القنوت في الصبح بدعة
“Qunut dalam Shalat Subuh adalah bid`ah” (HR Baihaqi)
Hadits ini sangat dhaif, karena salah satu periwatnya adalah Abi Laila Al Kufi dan statusnya dalam meriwayatkan hadits adalah matruk.Kita sudah tahu bersama bahwa sahabat Anas bin Malik telah meriwayatkan dalam hadits shohih bahwa Rasulullah saw melakukan qunut, tentu hadits shohih lebih didahulukan daripada hadits dhaif.
Hadits ini sangat dhaif, karena salah satu periwatnya adalah Abi Laila Al Kufi dan statusnya dalam meriwayatkan hadits adalah matruk.Kita sudah tahu bersama bahwa sahabat Anas bin Malik telah meriwayatkan dalam hadits shohih bahwa Rasulullah saw melakukan qunut, tentu hadits shohih lebih didahulukan daripada hadits dhaif.
Hadits keenam
Dari Ummu Salamah :
وعن أم سلمة عن النبي صلى الله عليه وسلّم أنه نهى عن القنوت في الصبح رواه البيهقي
Bahwasanya Rasulullah saw melarang untuk melakukan qunut di shalat subuh (Hr Ibnu Majah, Baihaqi)
Sanad periwayatanya hadits ini adalah dari Muhammad bin Ya`la dari Anbasah bin Abdurahman dari Abdullah bin Nafi` dari ayahnya dari Ummu Salmah, Imam Daruqutni telah mengatakan tiga orang ini adalah lemah dan tidak benar bahwa Nafi`mendengar dari Ummu Salamah. Oleh karena itu hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah. Sebenarnya masih banyak hadits-hadits yang saling bertentangan mengenai Qunut Subuh tetapi kiranya uraian singkat ini sudah cukup untuk menunjukkan bahwa dalil-dalil yang mengenai kesunahan qunut adalah banyak dan kuat, maka tidak selayaknya kita mengatakan hal ini sebagai bid`ah dan menutup mata dari hadits-hadits tersebut. (lebih lanjut alasan madzhab syafii silahkan merujuk ke kitab majmu karangan Imam Nawawi (penulis riyadus shalihin) bab qunut)
Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur’an maupun As-sunnah yang shohih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar maka hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid’ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ : ((مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ
“Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu adalah tertolak”. Dan dalam riwayat Muslim : “Siapa yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) adalah tertolak”.
Dan ini hendaknya dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim dalam menilai suatu perkara yang disandarkan kepada agama.
Setelah mengetahui hal ini, kami akan berusaha menguraikan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini.
Uraian Pendapat Para Ulama
Ada tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.
Pendapat pertama : Qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus, ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam Syafi’iy.
Pendapat kedua : Qunut shubuh tidak disyariatkan karena qunut itu sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
Pendapat ketiga : Qunut pada sholat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada sholat shubuh dan pada sholat-sholat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa’d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits.
Dalil Pendapat Pertama
Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap qunut subuh itu sunnah adalah hadits berikut ini :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa a lihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia”.
Dikeluarkan oleh ‘Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, Ahmad 3/162, Ath-Thoh awy dalam Syarah Ma’ani Al Atsar 1/244, Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wamansukhih no.220, Al-Ha kim dalam kitab Al-Arba’in sebagaimana dalam Nashbur Royah 2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugro 1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no.639, Ad-Daruquthny dalam Sunannya 2/39, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh 6/129-130 no.2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.689-690 dan dalam Al-’Ilal Al-Mutanahiyah no.753 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al Jama’ wat Tafr iq 2/255 dan dalam kitab Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq 1/463.
Semuanya dari jalan Abu Ja’far Ar-Rozy dari Ar-Robi’ bin Anas dari Anas bin Malik.
Hadits ini dishohihkan oleh Muhammad bin ‘Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata : “Bagaimana bisa sanadnya menjadi shohih sedang rowi yang meriwayatkannya dari Ar-Rob i’ bin Anas adalah Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan Ar-Rozy mutakallamun fihi (dikritik)”. Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i : “Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat)”. Berkata Abu Zur’ah : ” Yahimu katsiran (Banyak salahnya)”. Berkata Al-Fallas : “Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)”. Dan berkata Ibnu Hibban : “Dia bercerita dari rowi-rowi yang masyhur hal-hal yang mungkar”.”
Dan Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad jilid I hal.276 setelah menukil suatu keterangan dari gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ar-Rozy, beliau berkata : “Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja’far Ar-R ozy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya”.
Dan bagi siapa yang membaca keterangan para ulama tentang Abu Ja’far Ar-R ozy ini, ia akan melihat bahwa kritikan terhadap Abu Ja’far ini adalah Jarh mufassar (Kritikan yang jelas menerangkan sebab lemahnya seorang rawi). Maka apa yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam Taqrib-Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau berkata : “Shoduqun sayi`ul hifzh khususon ‘anil Mughiroh (Jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah).
Maka Abu Ja’far ini lemah haditsnya dan hadits qunut subuh yang ia riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan hadits yang mungkar.
Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab :
Satu : Makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shohih yang menunjukkan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
“Sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa a lihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau berdo’a untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdo’a (kejelekan atas suatu kaum)” . Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 639.
Kedua : Adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja’far Ar-Rozy ini sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan lemahnya dan tidak tetapnya ia dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Nabi shollahu ‘alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/104 no.7003 (cet. Darut Taj) dan disebutkan pula oleh imam Al Maqdasy dalam Al Mukhtarah 6/129.
emudian sebagian para ‘ulama syafi’iyah menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai beberapa jalan-jalan lain yang menguatkannya, maka mari kita melihat jalan-jalan tersebut :
Jalan Pertama : Dari jalan Al-Hasan Al-Bashry dari Anas bin Malik, beliau berkata :
قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ
“Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, dan saya (rawi) menyangka “dan keempat” sampai saya berpisah denga mereka”.
Hadits ini diriwayatkan dari Al Hasan oleh dua orang rawi :
Pertama : ‘Amru bin ‘Ubaid. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’ani Al Atsar 1/243, Ad-Daraquthny 2/40, Al Baihaqy 2/202, Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no.693 dan Adz-Dzahaby dalam Tadzkiroh Al Huffazh 2/494. Dan ‘Amru bin ‘Ubaid ini adalah gembong kelompok sesat Mu’tazilah dan dalam periwayatan hadits ia dianggap sebagai rawi yang matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).
Kedua : Isma’il bin Muslim Al Makky, dikeluarkan oleh Ad-Da raquthny dan Al Baihaqy. Dan Isma’il ini dianggap matrukul hadits oleh banyak orang imam. Baca : Tahdzibut Tahdzib.
Berkata Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya : Menceritakan kepada kami Ja’far bin Mihr on, (ia berkata) menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits bin Sa’id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Anas beliau berkata :
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ
“Saya sholat bersama Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam maka beliau terus-menerus qunut pada sholat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau”.
Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja’far bin Mihron sebagaimana yang dikatakan oleh imam Adz-Dzahaby dalam Mizanul I’tidal 1/418. Karena ‘Abdul Warits tidak meriwayatkan dari Auf tapi dari ‘Amru bin ‘Ubeid sebagaiman dalam riwayat Abu ‘Umar Al Haudhy dan Abu Ma’mar – dan beliau ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari ‘Abdul Warits-.
Jalan kedua : Dari jalan Khalid bin Da’laj dari Qotadah dari Anas bin M alik :
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ
“Saya sholat di belakang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang ‘umar lalu beliau qunut dan di belakang ‘Utsman lalu beliau qunut”.
Dikeluarkan oleh Al Baihaqy 2/202 dan Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadi ts wa Mansukhih no.219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy sebagai pendukung untuk hadits Abu Ja’far Ar-Rozy tapi Ibnu Turkumany dalam Al Jauhar An Naqy menyalahkan hal tersebut, beliau berkata : “Butuh dilihat keadaan Khalid apakah bisa dipakai sebagai syahid (pendukung) atau tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma’in dan Ad-Daruquthny melemahkannya dan Ibnu Ma’ in berkata di (kesempatan lain) : laisa bi syay`in (tidak dianggap) dan An-Nasa`i berkata : laisa bi tsiqoh (bukan tsiqoh). Dan tidak seorangpun dari pengarang Kutubus Sittah yang mengeluarkan haditsnya. Dan dalam Al-Mizan, Ad Daraquthny mengkategorikannya dalam rowi-rowi yang matruk.
Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya “Terus-menerus beliau qunut pada sholat Subuh hingga beliau meninggalkan dunia”, itu tidak terdapat dalam hadits Khal id. Yang ada hanyalah “beliau (nabi) ‘alaihis Salam qunut”, dan ini adalah perkara yang ma’ruf (dikenal). Dan yang aneh hanyalah terus-menerus melakukannya sampai meninggal dunia. Maka di atas anggapan dia cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan sebagai syahid (pendukung)”.
Jalan ketiga : Dari jalan Ahmad bin Muhammad dari Dinar bin ‘Abdillah dari Anas bin Malik :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ
“Terus-menerus Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa a lihi wa Sallam qunut pada sholat Subuh sampai beliau meninggal”.
Dikeluarkan oleh Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya, Ibnul Jauzy dalam At-Tahq iq no. 695.
Ahmad bin Muhammad yang diberi gelar dengan nama Ghulam Khalil adalah salah seorang pemalsu hadits yang terkenal. Dan Dinar bin ‘Abdillah, kata Ibnu ‘Ady : “Mungkarul hadits (Mungkar haditsnya)”. Dan berkata Ibnu Hibba n : “Ia meriwayatkan dari Anas bin Malik perkara-perkara palsu, tidak halal dia disebut di dalam kitab kecuali untuk mencelanya”.
Kesimpulan pendapat pertama:
Jelaslah dari uraian diatas bahwa seluruh dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dikuatkan.
Kemudian anggaplah dalil mereka itu shohih bisa dipakai berhujjah, juga tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut itu secara bahasa mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi dan Ibnul Arabi.Doa, Khusyu’, Ibadah, Taat, Menjalankan ketaatan, Penetapan ibadah kepada Allah, Diam, Shalat, Berdiri, Lamanya berdiri, Terus menerus dalam ketaatan
Dan ada makna-makna yang lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthubi 2/1022, Mufradat Al-Qur’an karya Al-Ashbahany hal. 428 dan lain-lain.
Maka jelaslah lemahnya dalil orang yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah.
Dalil Pendapat Kedua
Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ ))
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I’tidal) berkata : “Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. “Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakw an dan ‘Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat : “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (HSR.Bukhary-Muslim)
Berdalilkan dengan hadits ini menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal :
Pertama : ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghoib.
Kedua : Diriwayatkan oleh Bukhary – Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata :
وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.
Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu beliau berkata : “Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya’ dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir”.
Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansu kh. Andaikata qunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara sholat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah .
Dalil Pendapat Ketiga
Satu : Hadits Sa’ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja’i
قُلْتُ لأَبِيْ : “يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ” فَقَالَ : “أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ”.
“Saya bertanya kepada ayahku : “Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada sholat subuh ?”. Maka dia menjawab : “Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid’ah)”. Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080 dan dalam Al-Kubro no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thoy alisy no.1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/101 no.6961, Ath-Thohawy 1/249, Ath-Thobarany 8/no.8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihs an no.1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.677-678 dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil no.435 dan syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shoh ihain.
Dua : Hadits Ibnu ‘Umar
عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : “صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ”. فَقُلْتُ : “آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ”, قَالَ : “مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ”.
” Dari Abu Mijlaz beliau berkata : saya sholat bersama Ibnu ‘Umar sholat shubuh lalu beliau tidak qunut. Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku”. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy 1246, Al-Baihaqy 2213 dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma’ Az-Zawa’id 2137 dan Al-Haitsamy berkata :”rawi-rawinya tsiqoh”.
Ketiga : tidak ada dalil yang shohih menunjukkan disyari’atkannya mengkhususkan qunut pada sholat shubuh secara terus-menerus.
Keempat : qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan para shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar diatas, bahkan syaikul islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa berkata : “dan demikian pula selain Ibnu ‘Umar dari para shahabat, mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid’ah”.
Kelima : nukilan-nukilan orang-orang yang berpendapat disyari’atkannya qunut shubuh dari beberapa orang shahabat bahwa mereka melakukan qunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :
1) Ada yang shohih tapi tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
2) Sangat jelas menunjukkan mereka melakukan qunut shubuh tapi nukilan tersebut adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah.
Keenam: setelah mengetahui apa yang disebutkan diatas maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari’atkannya qunut shubuh secara terus-menerus dengan membaca do’a qunut “Allahummahdinaa fi man hadait…….sampai akhir do’a kemudian diaminkan oleh para ma’mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah sholat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi kenyataannya hanya dinukil dalam hadits yang lemah.Demikian keterangan Imam Ibnul qoyyim Al-Jauziyah dalam Z adul Ma’ad.
Satu : Hadits Sa'ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja'i
قُلْتُ لأَبِيْ : "يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ" فَقَالَ : "أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ".
"Saya bertanya kepada ayahku : "Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali radhiyallahu 'anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada sholat subuh ?". Maka dia menjawab : "Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid'ah)". Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080 dan dalam Al-Kubro no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thoy alisy no.1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/101 no.6961, Ath-Thohawy 1/249, Ath-Thobarany 8/no.8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihs an no.1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.677-678 dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil no.435 dan syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shoh ihain
- QUNUT SHALAT WITIR
Segala puji bagi Allah, Rabb yang mengatur malam dan siang. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Pada kesempatan kali ini kami akan menyajikan panduan singkat shalat witir. Semoga yang singkat ini bermanfaat.
Witir secara bahasa berarti ganjil. Hal ini sebagaimana dapat kita lihat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
“Sesungguhnya Allah itu Witr dan menyukai yang witr (ganjil).” (HR. Bukhari no. 6410dan Muslim no. 2677)
Sedangkan yang dimaksud witir pada shalat witir adalah shalat yang dikerjakan antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuknya waktu Shubuh), dan shalat ini adalah penutup shalat malam.
Mengenai shalat witir apakah bagian dari shalat lail (shalat malam/tahajud) atau tidak, para ulama berselisih pendapat. Ada ulama yang mengatakan bahwa shalat witir adalah bagian dari shalat lail dan ada ulama yang mengatakan bukan bagian dari shalat lail.
Tanya: Apa hukum membaca do’a qunut setiap malam ketika (shalat sunnah) witir?
Jawab: Tidak masalah mengenai hal ini. Do’a qunut (witir) adalah sesuatu yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun biasa membaca qunut tersebut. Beliau pun pernah mengajari (cucu beliau) Al Hasan beberapa kalimat qunut untuk shalat witir. Ini termasuk hal yang disunnahkan. Jika engkau merutinkan membacanya setiap malamnya, maka itu tidak mengapa. Begitu pula jika engkau meninggalkannya suatu waktu sehingga orang-orang tidak menyangkanya wajib, maka itu juga tidak mengapa. Jika imam meninggalkan membaca do’a qunut suatu waktu dengan tujuan untuk mengajarkan manusia bahwa hal ini tidak wajib, maka itu juga tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan do’a qunut pada cucunya Al Hasan, beliau tidak mengatakan padanya: “Bacalah do’a qunut tersebut pada sebagian waktu saja”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut witir terus menerus adalah sesuatu yang dibolehkan. [Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Fatawa Nur ‘alad Darb, 2/1062
Do’a qunut witir yang dibaca terdapat dalam riwayat berikut.
Al Hasan bin Ali radhiyallahu 'anhuma berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu
اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
Allahummahdiini fiiman hadait, wa'aafini fiiman 'afait, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a'thait, waqinii syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho 'alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata'aalait. (Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud no. 1425, An Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Hukum qunut diwaktu shalat witir. Perbedaan pendapat itu berangkat dari perbedaan dalil yang dipakai oleh masing-masing pihak.
1. Al-Hanafiyah Mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa disunahkan berqunut hanya pada shalat witir saja. Bahkan Imam Abu Hanifah ra. sendiri mengatakan bahwa qunut dalam shalat
witir itu hukumnya wajib. Mereka mengatakan bahwa qunut pada shalat witir itu
dilakukan sebelum ruku` : Dalil yang digunakan adalah hadits riwayat Umar, Ali, Ibnu Ma`ud, Ibnu abbas dan Ubay bin Ka`ab yang mengatakan bahwa qunut Rasulullah SAW itu sebelum ruku`".
Bentuknya menurut mazhab ini adalah bertakbir setelah selesai membaca ayat,
mengangkat tangan seperti saat takbiratul ihram kemudian meletakkan di bawah
pusatnya lalu mulai membaca doa qunut dan setelah itu barulah melakukan ruku`. Menurut mazhab ini tidak disunnahkan qunut selain dalam shalat witir, kecuali qunut nazilah dalam shalat jahriyah.
witir itu hukumnya wajib. Mereka mengatakan bahwa qunut pada shalat witir itu
dilakukan sebelum ruku` : Dalil yang digunakan adalah hadits riwayat Umar, Ali, Ibnu Ma`ud, Ibnu abbas dan Ubay bin Ka`ab yang mengatakan bahwa qunut Rasulullah SAW itu sebelum ruku`".
Bentuknya menurut mazhab ini adalah bertakbir setelah selesai membaca ayat,
mengangkat tangan seperti saat takbiratul ihram kemudian meletakkan di bawah
pusatnya lalu mulai membaca doa qunut dan setelah itu barulah melakukan ruku`. Menurut mazhab ini tidak disunnahkan qunut selain dalam shalat witir, kecuali qunut nazilah dalam shalat jahriyah.
2. Al-Malikiyah tidak menganggap sunnah untuk berqunut pada shalat witir.
Sebaliknya mereka menyunnahkan qunut pada shalat shubuh dan letaknya sebelum
ruku`. Dan bentuknya menurut mazhab ini hendaknya secara sirr (tidak dibaca keras).
(lihat As-Syarhu As-shaghir 1:331, Asy-syarhu Al-Kabir 1:248 dan Al-Qawanin
Al-Fiqhiyah hal. 61)
Sebaliknya mereka menyunnahkan qunut pada shalat shubuh dan letaknya sebelum
ruku`. Dan bentuknya menurut mazhab ini hendaknya secara sirr (tidak dibaca keras).
(lihat As-Syarhu As-shaghir 1:331, Asy-syarhu Al-Kabir 1:248 dan Al-Qawanin
Al-Fiqhiyah hal. 61)
3. Sedang Asy-Syafi`iyyah menyunnahkan untuk berqunut pada rakaat terakhir selama
paruh kedua bulan ramadhan saja. Dan letaknya sesudah ruku`.
paruh kedua bulan ramadhan saja. Dan letaknya sesudah ruku`.
Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW :"Dari Ubay bin Kaab bahwa Rasulullah SAW berqunut pada paruh kedua bulan Ramadhan saat shalat tarawih" HR. Abu Daud dan Al-Baihaqi.
4. Al-Hanabilah mengatakan bahwa qunut pada shalat witir itu dilakukan sesudah
ruku`. Dalilnya adalah hadits Ibnu Mas`ud ra "bahwa Nabi SAW berqunut sesudah
ruku`". HR. Muslim. Juga dari Az-Zuhri dari Sa`id dan Abi Salamah dari Abi Hurairah dari Nabi SAW dan dari Anas bahwa Nabi SAW berqunut sesudah ruku`".Disyariatkan qunut witir sepanjang tahun sebelum ruku', sebagaimana hadits Hasan bin Ali radiyallaahu 'anhuma, dan ini riwayat yg shahih dari 'Abdullah bin Mas'ud dan 'Abdullah bin Umar radiyallaahu 'anhuma, bahkan diriwayatkan darijumhur Sahabat, sebagaimana diriwayatkan Ibrahim al-Qamah:"Sesungguhnya Ibnu Mas'ud dan para Sahabat Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam qunut dalam shalat witir sebelum ruku'."237 Dari Ibrahim an-Nakha'i telah berkata 'Abdullah:"ia tidak pernah qunut Shubuh sepanjang tahun dan ia qunut witir setiap malam sebelum ruku'."238
ruku`. Dalilnya adalah hadits Ibnu Mas`ud ra "bahwa Nabi SAW berqunut sesudah
ruku`". HR. Muslim. Juga dari Az-Zuhri dari Sa`id dan Abi Salamah dari Abi Hurairah dari Nabi SAW dan dari Anas bahwa Nabi SAW berqunut sesudah ruku`".Disyariatkan qunut witir sepanjang tahun sebelum ruku', sebagaimana hadits Hasan bin Ali radiyallaahu 'anhuma, dan ini riwayat yg shahih dari 'Abdullah bin Mas'ud dan 'Abdullah bin Umar radiyallaahu 'anhuma, bahkan diriwayatkan darijumhur Sahabat, sebagaimana diriwayatkan Ibrahim al-Qamah:"Sesungguhnya Ibnu Mas'ud dan para Sahabat Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam qunut dalam shalat witir sebelum ruku'."237 Dari Ibrahim an-Nakha'i telah berkata 'Abdullah:"ia tidak pernah qunut Shubuh sepanjang tahun dan ia qunut witir setiap malam sebelum ruku'."238
Kata Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah:"Ini atsar yang kami pegang."Ishaq bin Rahawaih memilih qunut (witir) dilaksanakan sepanjang tahun.239Berkenaan dengan anjuran sebagian orang mengenai qunut witir setelah pertengahan Ramadhan, dalam artikel ini kami sengaja menghadirkan pembahasan mengenai kapan waktu membaca qunut witir. Apakah boleh sepanjang tahun? Ataukah khusus hanya setelah pertengahan Ramadhan?
Tentang waktu pelaksanaan qunut witir ada beberapa pendapat di antara para ulama.
Pertama: Hukum qunut witir itu makruh. Inilah pendapat ulama Malikiyah. Alasannya, tidak ada sunnah (tuntunan) dalam hal ini. Yang ada, qunut hanyalah pada shalat Shubuh saat nawazil.
Kedua: Qunut witir disunnahkan ketika separuh akhir dari bulan Ramadhan saja. Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’iyah dan ada perkataan dari Imam Ahmad mengenai hal ini. Ketika Abu Daud menanyakan pada Imam Ahmad, “Apakah qunut itu sepanjang?”. “Jika engkau mau”. Abu Daud bertanya lagi, “Apa pendapat yang engkau pilih?” Jawab Imam Ahmad, “Adapun saya tidaklah berqunut kecuali setelah pertengahan Ramadhan. Namun jika aku bermakmum di belakang imam lain dan ia berqunut, maka aku pun mengikutinya.” (Masail Ahmad li Abi Daud, 66). Mereka pun berdalil tentang riwayat dari Ibnu ‘Umar, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih (Al Mushannaf, 2: 98)
Ketiga: Disunnahkan pada bulan Ramadhan saja tidak pada bulan lainnya. Inilah pendapat ulama Malikiyah dan Syafi’iyah.
Keempat: Qunut witir disunnahkan dibaca setiap malam sepanjang tahun. Inilah pendapat Ibnu Mas’ud dan Ibrahim An Nakho’i. Pendapat ini dianut oleh Hanafiyah, salah satu pendapat Syafi’iyah.
Di antara dalilnya:
1. Al Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu
اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
Allahummahdiini fiiman hadait, wa’aafini fiiman ‘afait, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a’thait, waqinii syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho ‘alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata’aalait. (Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud no. 1425, An Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
2. Hadits Ubay bin Ka’ab yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqunut dalam shalat witir. (HR. Abu Daud no. 1427, shahih menurut Syaikh Al Albani). Hadits ini mutlak tidak khusus pada bulan Ramadhan.
3. Sebagaimana dinukil dari Imam Ahmad pula bahwasanya ‘Umar pun berpendapat seperti ini.
Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya: Apa hukum membaca do’a qunut setiap malam ketika (shalat sunnah) witir?
Beliau menjawab, tidak masalah mengenai hal ini. Do’a qunut (witir) adalah sesuatu yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun biasa membaca qunut tersebut. Beliau pun pernah mengajari (cucu beliau) Al Hasan beberapa kalimat qunut untuk shalat witir. Ini termasuk hal yang disunnahkan. Jika engkau merutinkan membacanya setiap malamnya, maka itu tidak mengapa. Begitu pula jika engkau meninggalkannya suatu waktu sehingga orang-orang tidak menyangkanya wajib, maka itu juga tidak mengapa. Jika imam meninggalkan membaca do’a qunut suatu waktu dengan tujuan untuk mengajarkan manusia bahwa hal ini tidak wajib, maka itu juga tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan do’a qunut pada cucunya Al Hasan, beliau tidak mengatakan padanya: “Bacalah do’a qunut tersebut pada sebagian waktu saja”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut witir terus menerus adalah sesuatu yang dibolehkan. (Fatawa Nur ‘alad Darb, 2/1062)
Kesimpulan pendapat
Ibnu Taimiyah berkata setelah menyebutkan pendapat para ulama tentang qunut witir,
وَحَقِيقَةُ الْأَمْرِ أَنَّ قُنُوتَ الْوِتْرِ مِنْ جِنْسِ الدُّعَاءِ السَّائِغِ فِي الصَّلَاةِ مَنْ شَاءَ فَعَلَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ . كَمَا يُخَيَّرُ الرَّجُلُ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثِ أَوْ خَمْسٍ أَوْ سَبْعٍ وَكَمَا يُخَيَّرُ إذَا أَوْتَرَ بِثَلَاثِ إنْ شَاءَ فَصَلَ وَإِنْ شَاءَ وَصَلَ . وَكَذَلِكَ يُخَيَّرُ فِي دُعَاءِ الْقُنُوتِ إنْ شَاءَ فَعَلَهُ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَهُ وَإِذَا صَلَّى بِهِمْ قِيَامَ رَمَضَانَ فَإِنْ قَنَتَ فِي جَمِيعِ الشَّهْرِ فَقَدْ أَحْسَنَ وَإِنْ قَنَتَ فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ فَقَدْ أَحْسَنَ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ بِحَالِ فَقَدْ أَحْسَنَ .
“Hakekatnya, qunut witir adalah sejenis do’a yang dibolehkan dalam shalat. Siapa yang mau membacanya, silakan. Dan yang enggan pun dipersilakan. Sebagaimana dalam shalat witir, seseorang boleh memilih tiga, lima, atau tujuh raka’at semau dia. Begitu pula ketika ia melakukan witir tiga raka’at, maka ia boleh melaksanakan 2 raka’at salam lalu 1 raka’at salam, atau ia melakukan tiga raka’at sekaligus. Begitu pula dalam hal qunut witir, ia boleh melakukan atau meninggalkannya sesuka dia. Di bulan Ramadhan, jika ia membaca qunut witir pada keseluruhan bulan Ramadhan, maka itu baik. Jika ia berqunut di separuh akhir bulan Ramadhan, itu pun baik. Jika ia tidak berqunut, juga baik.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 271)
DAFTAR PUSTAKA
- Ibnu Qoyyim al-Jauziyah . 2006.Tuntunan shalat Rasulullah.Jakarta: Akbar.
- Jamaluddin, Syakir.2010.Kuliah Fiqh Ibadah.Yogyakarta:LPPI UMY.
- Jamaluddin, Syakir.2010.Shalat Sesuai Tuntunan Nabi SAW.Yogyakarta:LPPI UMY.
No comments:
Post a Comment